SUARAGEMPUR.COM | Serang — Dugaan praktik pungutan liar (pungli) mencuat di Desa Pringwulung, Kecamatan Bandung, Kabupaten Serang, menyusul terbitnya surat kesepakatan pengelolaan parkir dan aktivitas “ngerest” (pengepul limbah besi) di lingkungan PT Shiwon Steel Indonesia. Dokumen resmi yang diterbitkan Pemerintah Desa Pringwulung dan ditandatangani Kepala Desa serta Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD), menimbulkan polemik dan sorotan tajam dari masyarakat.
Surat tersebut, yang berjudul Berita Acara Kesepakatan Pengelolaan Parkiran dan Ngerest, diterbitkan pada 8 Maret 2025 dan disahkan dengan cap serta tanda tangan resmi dari Kepala Desa Pringwulung, SANA, dan Ketua BPD, Bambang Hariyanto. Kesepakatan itu juga disetujui oleh lembaga desa lainnya seperti LPM, Karang Taruna, serta perwakilan RT/RW.
Isi Pokok Kesepakatan:
✓Pengelolaan parkiran dan aktivitas ngerest di PT Shiwon Steel Indonesia diserahkan kepada organisasi desa dan pemuda dari setiap kampung secara bergilir.
✓Jam operasional ditetapkan dari pukul 08.00 hingga 24.00 WIB.
✓Setoran sebesar Rp 50.000 per bulan dari hasil parkir dan ngerest wajib disetor ke kas Karang Taruna.
✓Ketentuan ini mulai berlaku sejak 10 Maret 2025.
✓Revisi kesepakatan akan dilakukan bila diperlukan melalui musyawarah ulang.
Dalam konfirmasi via sambungan WhatsApp pada Rabu (14/5), Kepala Desa Pringwulung, SANA, membenarkan keberadaan surat tersebut. Ia menyatakan, kesepakatan dibuat demi menghindari konflik perebutan lahan pengelolaan dan menekankan bahwa fokus utamanya adalah pada aktivitas ngerest, bukan parkir.
“Benar, itu hasil musyawarah bersama. Supaya tidak terjadi perebutan lahan ngerest, kami atur bergilir. Dan benar, ada setoran bulanan ke Karang Taruna sebesar Rp50 ribu dari tujuh petugas yang bertugas secara bergiliran,” ujar SANA.
Namun, kebijakan ini justru menuai kritik dari warga, terutama terkait peran Ketua BPD yang semestinya menjadi pengawas, bukan turut menyusun kebijakan yang berpotensi melanggar hukum.
“BPD seharusnya mengawasi, bukan malah ikut melegalkan pungutan seperti ini. Aneh dan tidak etis,” ujar seorang warga yang enggan disebutkan namanya.
Pungutan sebesar Rp 50 ribu per bulan yang disetorkan ke organisasi desa dapat dikategorikan sebagai pungli jika tidak berdasarkan regulasi resmi yang sah. Berdasarkan UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi serta Pasal 368 KUHP, tindakan pungli yang dilakukan oleh penyelenggara negara atau aparatur desa dapat dikenai sanksi pidana, apalagi jika dilakukan secara sistematis dan melibatkan struktur pemerintahan.
Presiden Prabowo Subianto dalam beberapa kesempatan terakhir telah menegaskan pentingnya pemberantasan aksi premanisme yang mengganggu iklim investasi, termasuk pungli berkedok kegiatan sosial atau organisasi masyarakat. Arahan tegas telah disampaikan kepada aparat penegak hukum, termasuk Polri, TNI, dan Kejaksaan.
Kasus ini menambah daftar panjang praktik yang mencederai integritas pemerintahan desa. Diperlukan tindakan tegas dari aparat penegak hukum untuk memastikan bahwa setiap kebijakan yang lahir di desa benar-benar berpihak kepada kepentingan masyarakat dan sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku. Masyarakat pun diimbau untuk proaktif melaporkan jika menemukan indikasi pungli atau pelanggaran lainnya. (Red)