SUARAGEMPUR.COM, TANGERANG – Skandal penahanan ijazah di SDIT Al Rasyid, Kecamatan Kresek, menjadi bukti kuat dugaan kegagalan Dinas Pendidikan Kabupaten Tangerang. Bukan sekadar kasus pelanggaran namun ini adalah cermin rusaknya sistem dan matinya fungsi pengawasan di tubuh Dinas Pendidikan yang seharusnya menjaga hak dasar peserta didik. Rabu (21/5/25).
Setelah praktik penahanan ijazah terungkap ke publik, pertanyaan tajam pun bermunculan: Di mana pengawas sekolah? Apa fungsi dinas? Mengapa tak ada tindakan cepat? Hal ini dapat mengarah kepada dugaan pembiaran.
Alih-alih bertindak tegas, Dinas Pendidikan justru memilih diam. Sikap bungkam yang kini dianggap sebagai bentuk keterlibatan dalam pembiaran Sistemik. Diamnya Dinas Pendidikan ketika hak Pendidikan dirampas adalah bentuk pelanggaran terhadap amanat undang-undang.
Bukan penjelasan atau solusi , melainkan jawaban dingin yang justru melempar tanggung jawab ke pundak para orang tua murid yang sedang mencari keadilan. Dalam kondisi di mana orang tua berharap perlindungan dari negara, jawaban seperti ini mencerminkan wajah birokrasi yang beku , tidak berempati dan abai terhadap persoalan mendasar Pendidikan.
Ini bukan soal satu sekolah tapi juga menyangkut dugaan soal institusi pengawasan yang lumpuh. Dinas Pendidikan kini tampak seperti institusi tak bertaring mengabaikan tanggungjawab.
Lebih jauh, Kepala Sekolah SDIT Al Rasyid, Achmad Sadani, S.Pd.I., secara terang-terangan menghubungi redaksi Suara Gempur. Sadani meminta agar pemberitaan soal penahanan ijazah dihapus, bahkan menawarkan “jalan damai”. Sebuah manuver kasar yang mencoba membungkam media upaya otoriter yang mencederai kebebasan Pers.
Ini bukan sekadar permintaan tapi lebih mengarah kepada intervensi. Sebuah pelanggaran serius terhadap kebebasan Pers.
Padahal, beberapa aturan terkait larangan penahanan ijazah telah di jelaskan di berbagai aturan seperti :
Permendikbud No. 1 Tahun 2021 dan Peraturan Sekjen Kemendikbudristek No. 23 Tahun 2020 serta No. 1 Tahun 2022 melarang satuan pendidikan menahan ijazah dengan alasan apa pun, termasuk tunggakan biaya.
Kemudian UU No. 20 Tahun 2003 tentang TENTANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL
Pada Pasal 11
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan
kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu
bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi.
Dan dugaan Pasal 372 KUHP: Penahanan ijazah bisa dikategorikan sebagai tindak pidana penggelapan, dengan ancaman hukuman hingga 4 tahun penjara.
Namun, fakta di lapangan berkata lain. Sekolah dengan sengaja melanggar aturan, dan Dinas Pendidikan hanya menonton dari jauh tanpa sanksi, serta tindakan nyata.
“Kami seperti dibiarkan berjuang sendiri,” ungkap E salah satu wali murid yang ijazah dan raport anaknya masih disandera. “Lalu ke mana lagi kami harus mengadu?” tambah E
Desakan kini mengarah langsung ke pucuk Pimpinan Daerah. Masyarakat secara terbuka menyuarakan tuntutan kepada Bupati Tangerang, Moch. Maesyal Rasyid, agar segera mencopot Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Tangerang dari kursi nyamannya. Posisi yang selama ini hanya jadi tempat berlindung dari tanggung jawab, bukan ruang kerja untuk melindungi peserta didik.
Tindakan kepala sekolah yang mencoba mengintervensi pemberitaan adalah sinyal kuat dugaan bahwa ada upaya sistematis menutupi borok lembaga Pendidikan.Hal ini bukan lagi urusan administratif tapi cenderung mengarah kepada pelanggaran hak asasi manusia.
Jika Dinas Pendidikan terus bungkam tanpa investigasi, tanpa mencopot kepala sekolah, tanpa pelaporan ke aparat penegak hukum maka publik berhak menilai: mereka bukan sekadar lalai, tapi menguatkan dugaan ikut terlibat dalam pembiaran terstruktur.
Sampai kapan Dinas Pendidikan hanya jadi penonton? Berapa banyak ijazah harus disandera? Berapa banyak masa depan anak-anak harus dikorbankan, sebelum mereka sadar bahwa jabatan yang mereka emban dibayar dari pajak rakyat bukan untuk berdiam diri?
Red. SUARAGEMPUR.COM