SUARAGEMPUR.COM | Kabupaten Tangerang – Dua tahun sudah berlalu sejak DPRD Kabupaten Tangerang menerbitkan rekomendasi revisi dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) untuk kawasan elite Suvarna Sutera. Tapi hingga kini, yang tampak bukanlah implementasi dari semangat reformasi lingkungan, melainkan ironi dari sebuah pembangunan berbalut ilusi. Dokumen yang semestinya menjadi benteng ekologis kini berubah rupa menjadi dokumen kosmetik: rapi di atas kertas, hampa di tanah lapang.
Dalam pertemuan yang berlangsung pada Selasa (12/8/2025), Koordinator Pengembang, Wawan, dengan percaya diri memamerkan klaim bahwa sejumlah tandon air telah dibangun di titik strategis, Terace 9, Palm Segar, dan kawasan Asta. Retorika yang terdengar manis, penuh jargon keberlanjutan. Namun, faktanya, kata-kata itu berhenti di udara. Tak berjejak di bumi.
Baca :
Jangan Tertipu Kemewahan! Suvarna Sutera Terancam Banjir, Revisi AMDAL Mandek Sejak 2022
Hasil investigasi tim media pada Rabu (13/8/2025) menunjukkan realitas yang kontras. Tidak ada satu pun tandon air yang ditemukan di lokasi-lokasi yang disebutkan. Tidak di Terace 9. Tidak di Palm Segar. Tidak pula di Asta. Hanya jejak janji, bukan bukti. Hanya gema narasi, bukan fondasi nyata.
Di Palm Segar, Ketua RW setempat, Edi, menuturkan tanpa ragu, “Kalau untuk tandon air, tidak ada. Yang ada hanya gudang air bersih.” Sebuah pengakuan lugas yang menggugurkan klaim pihak pengembang secara telak.
Sementara itu, di Terace 9, narasi tentang tandon di “ujung kawasan” tak lebih dari dusta setengah matang. Petugas keamanan, Abidin, dengan jujur mengungkap, “Di sini tidak ada tandon air, Pak. Yang ada hanya pembangunan saluran pipa yang akan dialirkan ke kali.” Artinya jelas: tak ada penampungan air limbah, tak ada filtrasi. Yang ada hanyalah potensi pencemaran lingkungan yang dialirkan tanpa kontrol.
Dan di kawasan Asta? Lebih parah. Yang ditemukan bukan fasilitas, melainkan kehampaan. Tidak ada bangunan, tidak ada struktur, tidak ada tanggung jawab yang berdiri.
Investigasi juga menelusuri aliran air ke Situ Warung Rebo, situ milik Pemerintah Provinsi Banten, yang kini menjadi muara dari aktivitas limbah perumahan. Sanwani, petugas juru situ, mengonfirmasi bahwa air dari Klaster Lapon, bagian dari Suvarna Sutera, mengalir ke situ tersebut. “Dari perumahan klaster Lapon Suvarna Sutera juga ada saluran yang mengalir ke sini,” ujarnya.
Pertanyaannya mengemuka: dengan legitimasi apa pengembang swasta membuang air limbah ke aset publik milik negara? Di mana dokumen izin pembuangan? Di mana pengawasan kualitas air? Di mana transparansi teknis? Atau semua ini hanyalah contoh baru dari mentalitas kolonialisme ruang, menghisap manfaat dari tanah rakyat, lalu meninggalkan limbahnya begitu saja?
Jika tandon tak dibangun, namun limbah dialirkan ke situ milik pemerintah, ini bukan sekadar kelalaian administratif. Ini adalah perampasan ruang publik, dilakukan secara senyap, sistematis, dan yang paling mengkhawatirkan, dengan penuh keyakinan.
Baca:
Pengembang Suvarna Sutera Diduga Abaikan Revisi AMDAL Usai Sidak DPRD Tangerang Sejak 2022
Tak cukup sampai di situ. Jalan desa yang seharusnya menjadi nadi ekonomi dan akses warga pun kini menjadi korban proyek. Digunakan tanpa izin, tanpa kompensasi, tanpa etika. Jika benar, ini bukan lagi soal pelanggaran prosedur. Ini adalah bentuk arogansi kekuasaan kapital yang menunggangi dalih “pembangunan”, sambil mengorbankan hak-hak masyarakat lokal.
Apakah ini wajah baru dari ketimpangan? Ketika investor datang bukan untuk membangun kehidupan, melainkan menancapkan dominasi, menyulap ruang rakyat menjadi halaman belakang korporasi.
Rekomendasi revisi AMDAL yang dikeluarkan DPRD Kabupaten Tangerang tahun 2022 kini ibarat dokumen yatim piatu. Tak jelas tindak lanjutnya, tak ada laporan berkala, tak ada mekanisme evaluasi. Justru yang muncul adalah pembiaran struktural yang seolah disengaja, membiarkan pengembang berjalan tanpa kendali, tanpa akuntabilitas.
Baca juga:
“Suvarna Sutera: Proyek Raksasa Tanpa AMDAL, Bukti Hukum Lingkungan di Tangerang Macet?”
Maka wajar jika publik bertanya: di mana posisi DPRD hari ini? Apakah mereka masih berdiri sebagai wakil rakyat, atau telah menjelma menjadi pelayan narasi korporasi?
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Tangerang saat dikonfirmasi hanya menyampaikan balasan pendek lewat WhatsApp, dengan janji klarifikasi pada Selasa, 19 Agustus 2025. Namun publik tak lagi butuh janji. Yang dibutuhkan adalah sikap. Tegas, terbuka, dan berpihak pada kebenaran.
Pembangunan bukanlah sekadar menara beton atau deretan kavling mewah. Pembangunan sejati adalah tentang integritas, tentang keberanian menyelaraskan pertumbuhan dengan keberlanjutan. Dan itu hanya mungkin jika pengawasan publik berjalan tanpa hambatan.
Tim investigasi akan terus mengawal persoalan ini. Karena dalam dunia yang semakin dibungkam oleh kepentingan modal, kebenaran harus tetap disuarakan, meski tak nyaman, meski beresiko.
Reporter : Redaksi suaragempur.com