SUARAGEMPUR.COM | Kabupaten Tangerang – Ketika bumi terus bergerak di bawah bayang-bayang krisis iklim dan degradasi lingkungan, secercah harapan justru lahir dari tepian sungai, di mana manusia dan alam kembali berdialog dalam kesunyian yang penuh makna. Sabtu pagi, 27 September 2025, Kabupaten Tangerang menjadi saksi bisu dari sebuah gerakan yang tak hanya menyapu sampah, tapi juga menyapu kepedulian yang telah lama tertimbun diam: Aksi Bersih Sungai dalam rangka Hari Sungai Sedunia 2025.
Di bawah tema “Jaga Sumber Air, Sayangi Sungai Kita, Sayangi Alam Kita”, kolaborasi lintas generasi dan lintas sektor hadir dalam satu semangat yang menyatu. Konsorsium Lingkungan Hidup (KLH) Provinsi Banten bersinergi dengan MATAPALA (Mahasiswa Tangerang Raya Pecinta Alam), menghadirkan energi baru di kawasan irigasi Pintu Air Sipon, Desa Gembong, Kecamatan Balaraja. Di tempat ini, simpul-simpul kesadaran kembali dirajut: bahwa sungai adalah urat nadi bumi yang menuntut kepedulian, bukan sekadar menjadi pelengkap lanskap kota.
Relawan datang bukan dengan simbolik dan seremonial, tapi dengan tekad yang mengakar. Tangan-tangan yang tadinya asing kini menyatu menyusuri bantaran, mengangkat sampah yang menyumbat aliran, dan menyeka lumpur sebagai metafora untuk membersihkan nurani. Di tengah terik yang tak kenal kompromi, mereka berdiri, berkeringat, namun tak surut semangat.
Ferry Anis Fuad, S.H., M.H., Direktur KLH Banten, menyuarakan panggilan ekologis yang menggugah hati:
“Kita hidup di masa di mana alam bicara lewat bencana, tapi sering kali kita terlalu sibuk untuk mendengar. Menjaga sungai bukan hanya menjaga air, tapi menjaga denyut kehidupan. Ini bukan sekadar kerja bakti, ini bentuk cinta yang konkret terhadap bumi.”
Pesannya disambut diam yang merenung. Diam yang mengandung kesadaran, bahwa setiap plastik yang terangkat adalah luka yang dijahit perlahan.
Tak kalah berkesan, semangat muda terpancar dari pernyataan Juan Claudio Sina Valeron, Ketua MATAPALA, yang menyulut kobaran inspirasi dari kalangan generasi Z:
“Bersih-bersih ini hanyalah awal. Kami datang bukan untuk difoto lalu hilang. Kami datang untuk menjadi bagian dari sejarah — sejarah di mana manusia kembali menyatu dengan alam. Kami ingin dikenang bukan karena kata-kata, tapi karena tindakan nyata.”
Aksi ini pun tak berhenti di hilir kegiatan fisik. Rangkaian sesi edukasi lingkungan, diskusi terbuka, dan refleksi spiritual-ekologis menyentuh ranah yang lebih dalam. Peserta diajak merenungi isu krisis air global, memahami siklus ekologis, serta membongkar narasi bahwa alam adalah objek eksploitasi — padahal sesungguhnya, ia adalah rumah.
Partisipasi aktif dari warga sekitar menjadi bukti bahwa resonansi kegiatan ini menembus sekat sosial. Banyak di antara mereka mengaku tersentuh dan berkomitmen untuk menjaga sungai sebagai bagian dari keseharian, bukan sekadar seremoni tahunan.
Di penghujung acara, semangat kolektif dipuncaki dengan yel-yel penutup penuh haru dan harapan:
“Salam lestari! Selamat… lestariiii… Kami mengucapkan: Selamat Hari Sungai Sedunia Tahun 2025!”
Sungai yang semula diam kini seolah berbisik, mengalirkan pesan kepada siapa pun yang mendengarkan:
“Rawat aku hari ini, dan aku akan mengaliri hidupmu esok nanti.”
Di balik aliran air yang mulai kembali jernih, tersimpan sebuah janji: bahwa masa depan bumi bukan ditentukan oleh seberapa canggih teknologi kita, tapi seberapa dalam cinta kita kepada alam. (Daenk)