SUARAGEMPUR.COM, TANGERANG| Di ujung senja Kabupaten Tangerang, derita rakyat kecil terus bergema tanpa suara. Di pelosok desa dan gang-gang sempit kota, masih banyak rumah berdinding anyaman bambu, beratapkan seng tua, dan beralaskan tanah yang dingin. Di sanalah, rakyat yang tak berdaya hidup—tanpa pilihan dan tanpa harapan yang pasti, kamis (7/8/2025).
Namun, pada saat yang sama, sebuah fakta mencabik logika dan nurani publik: anggaran senilai Rp2.048.267.315 digelontorkan untuk membangun mushola di RSUD Balaraja. Papan proyek itu berdiri tegak, dengan nama-nama institusi dan perusahaan pelaksana terpampang megah tapi jauh dari rasa malu.
Pertanyaannya bukan pada perlu atau tidaknya mushola. Tapi pada skala kepatutan dan prioritas, di tengah kenyataan rakyat masih banyak yang tak punya rumah layak, bahkan untuk makan saja masih mengandalkan belas kasih tetangga. Maka, anggaran mushola Rp2 miliar lebih itu bukan sekadar angka, tapi tamparan telak bagi nurani keadilan sosial.
Membangun mushola adalah ibadah. Tapi apakah Tuhan minta mushola berornamen mewah, ketika hamba-Nya masih kelaparan dan hidup di kolong jembatan? Apakah nilai-nilai spiritual harus dikorbankan demi kemegahan bangunan, sementara rakyat terus dirundung penderitaan?
Sebagian keluarga di Kabupaten Tangerang masih menanak nasi dengan tungku batu bata, menggantungkan hidup pada upah harian yang tak cukup membeli beras satu liter. Anak-anak mereka belajar di bawah lampu pelita, tidur berselimutkan dinding bocor dan angin malam. Mereka tidak butuh mushola megah. Mereka butuh air bersih, dinding rumah, dan sesuap makan yang layak.
Kita menyaksikan pameran proyek-proyek besar gedung, gapura, Tugu Adipura, drainase, hingga ruang terbuka hijau yang diresmikan dengan potong pita. Tapi rakyat yang tinggal di rumah reyot, tak pernah diundang ke pesta peresmian apapun.
Bagaimana mungkin hati pejabat tak terguncang melihat warganya tinggal di rumah yang nyaris roboh? Bagaimana bisa Dinas Kesehatan Kabupaten Tangerang mengajukan dan menyetujui anggaran dua miliar lebih hanya untuk mushola, sementara program perbaikan rumah tidak layak huni (RTLH) justru berjalan tersendat-sendat atau bahkan tidak tersentuh sama sekali?
Kami Bertanya, Dengan Hati yang Terluka
• Apakah mushola itu akan dilapisi marmer dari Italia?
• Apakah kubahnya akan berlapis emas?
• Apakah uang dua miliar itu akan membuat rakyat kecil merasakan kehadiran negara?
Kami tahu ini bukan soal agama. Ini soal rasa keadilan. Soal mata hati yang mestinya melihat ke bawah sebelum menengok ke menara proyek. Mushola bukanlah masalah. Tapi jika mushola dibangun dengan harga dua miliar, sementara rakyat kelaparan, maka yang cacat bukan bangunannya, tapi logikanya.
Pemerintah harus sadar, rakyat bukan hanya angka dalam tabel APBD. Mereka adalah jiwa-jiwa yang layak diperlakukan dengan adil dan bermartabat. Jika suara mereka tak lagi didengar, maka tulisan inilah yang berbicara.
Hari ini, kami menulis dengan pena yang basah oleh air mata rakyat. Dan kami akan terus menulis sampai nurani itu kembali hidup.
Redaksi SuaraGempur : Dari suara kecil yang menolak diam.