SUARAGEMPUR.COM | TANGERANG — Dalam dinamika pembangunan kawasan hunian elit, transparansi dan kepatuhan terhadap regulasi bukan sekadar formalitas, melainkan fondasi utama tata ruang berkelanjutan. Namun, bagaimana jika fondasi itu justru diabaikan oleh pihak yang seharusnya menjadi teladan dalam pembangunan? Kamis (31/7/2025).
Sudah dua tahun berlalu sejak Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Tangerang bersama sejumlah Organisasi Perangkat Daerah (OPD) menggelar inspeksi mendadak (sidak) ke kawasan prestisius Suvarna Sutera, Kecamatan Sindang Jaya. Namun, hingga hari ini, rekomendasi strategis dari sidak tersebut terkesan diabaikan dan tidak kunjung ditindaklanjuti. Fakta ini kembali mencuat ke permukaan pada Kamis, 31 Juli 2025.
Dalam sidak yang dilakukan pada 18 Agustus 2022, DPRD Kabupaten Tangerang secara tegas mewajibkan pengembang, PT Delta Mega Persada, untuk melakukan revisi menyeluruh terhadap dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Ini bukan sekadar formalitas administratif, melainkan syarat krusial demi menjamin keselamatan lingkungan, kepatuhan tata ruang, dan keberlanjutan sosial di wilayah pengembangan.
Namun realitas di lapangan menunjukkan sebaliknya. Pengembang tampak tetap berjalan dengan pola pembangunan yang tidak sejalan dengan rekomendasi DPRD, seolah-olah perintah lembaga legislatif hanyalah seremonial belaka.
Dalam dokumen AMDAL, disebutkan adanya fasilitas tandon air untuk mengelola kebutuhan dan cadangan air lingkungan. Namun hingga kini, masyarakat belum melihat keberadaan fisik dari tandon tersebut. Tidak ada laporan progres, dan tidak ada bukti konstruksi di lapangan. Apakah ini hanya janji manis di atas kertas?
Kawasan berskala besar seperti Suvarna Sutera wajib memiliki sistem drainase yang tertata untuk mengantisipasi limpahan air hujan. Ketidakjelasan arah aliran air berpotensi menyebabkan banjir yang dapat berdampak pada wilayah tetangga dan menimbulkan kerusakan ekologis.
Lebih ironis lagi, pihak pengembang diduga memanfaatkan jalan desa yang belum secara resmi diserahkan atau dihibahkan ke pengelola kawasan. Ini bukan hanya menyalahi etika pembangunan, tetapi juga menyentuh aspek hukum agraria dan tata kelola aset publik.
Upaya tim redaksi suaragempur.com untuk meminta klarifikasi dari pihak Suvarna Sutera pun berakhir sia-sia. Saat mendatangi kantor Customer Relationship Management (CRM), tim hanya disambut oleh petugas keamanan yang menyatakan bahwa seluruh staf sedang mengikuti rapat internal.
“Bapak tinggalin nomor telepon saja, nanti kalau meeting sudah selesai saya akan telepon,” ujar petugas keamanan.
Saat ditanya mengenai kepastian waktu dan dengan siapa nantinya bisa bertemu setelah rapat selesai, ia menjawab, “Tidak pasti, Pak. Terkadang sampai jam tiga sore, kadang sampai jam lima. Nanti Bapak bisa ketemu Pak Wawan selaku manajer di kantor ini,” katanya.
Namun, janji tinggal janji. Sampai keesokan harinya, tidak ada satupun perwakilan yang menghubungi redaksi. Diam yang mencurigakan ini kian memperkuat dugaan bahwa pengembang tengah menghindari akuntabilitas publik.
Kini bola panas ada di tangan DPRD. Jika pembangkangan ini terus dibiarkan, maka bukan hanya marwah lembaga legislatif yang dipertaruhkan, tetapi juga kredibilitas sistem pengawasan pemerintahan daerah secara keseluruhan.
Apakah DPRD akan membiarkan rekomendasinya diinjak-injak? Ataukah akan mengambil langkah konkret, termasuk mendorong sanksi administratif atau bahkan hukum terhadap pelanggaran yang ada?
Di balik gemerlap kawasan elit Suvarna Sutera, terselip ancaman senyap terhadap prinsip-prinsip dasar tata ruang. Ketika pengembang mulai abai dan pengawasan melemah, maka yang menjadi korban bukan hanya warga sekitar, melainkan masa depan Kota Tangerang itu sendiri.
Redaksi suaragempur.com akan terus menelusuri persoalan ini, membuka ruang dialog dengan pihak pengembang, sembari mengawal agar suara rakyat tak terbungkam oleh kepentingan modal.
Redaksi : Tim suaragempur.com