SUARAGEMPUR.COM | Kota Tangerang – Pernyataan kontroversial yang dilontarkan oleh Wakil Wali Kota Serang, Nur Agis Aulia, dalam sebuah pertemuan dengan para kepala sekolah, menuai kecaman luas dari kalangan insan pers. Ucapan tersebut dinilai tidak hanya tidak profesional, tetapi juga menyesatkan publik dan berpotensi menghambat kebebasan pers.
Dalam video yang viral di media sosial, Aulia secara tegas melarang kepala sekolah untuk melayani wartawan, kecuali wartawan tersebut memiliki “tiga kartu”. Namun, hingga kini tidak jelas apa yang dimaksud dengan “tiga kartu” tersebut, mengingat tidak ada aturan resmi yang mengatur hal demikian dalam regulasi pers nasional.
Yang lebih memprihatinkan, dalam video tersebut, Aulia juga menyebut bahwa jika wartawan atau LSM datang ke sekolah, sebaiknya tidak dilayani karena menurutnya mereka bukan berasal dari “bidang” tertentu dan bukan bagian dari “red_PWI”. Pernyataan ini menimbulkan tanda tanya besar, mengingat organisasi pers yang diakui Dewan Pers bukan hanya PWI (Persatuan Wartawan Indonesia), tetapi mencakup ratusan lembaga lainnya.
Menanggapi pernyataan tersebut, Ketua DPD Gabungan Wartawan Indonesia (GWI) Provinsi Banten, Syamsul Bahri, menyatakan bahwa statemen Wakil Wali Kota Serang adalah “sesat dan menyesatkan publik.” Ia menilai, jika pernyataan tersebut dijadikan acuan, maka kepala sekolah dapat menolak kehadiran wartawan secara sepihak, sekalipun terkait dugaan penyimpangan. Ini jelas bertentangan dengan hak publik untuk mendapatkan informasi.
“Pernyataan seperti itu justru membuat kepala sekolah menjadi korban. Ketika wartawan hendak melakukan konfirmasi terkait suatu dugaan, mereka akan ditolak dan akhirnya informasi akan langsung dipublikasikan tanpa hak jawab dari narasumber,” ujar Syamsul Bahri saat konferensi pers, Rabu (11/6/2025).
Lebih lanjut, Syamsul menyayangkan beredarnya video pernyataan tersebut karena menimbulkan keresahan dan kecaman luas dari berbagai pihak, terutama kalangan pers. Ia juga mengingatkan bahwa pernyataan Wakil Wali Kota Serang berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, khususnya Pasal 18 Ayat (1), yang menjamin kebebasan pers dan melarang segala bentuk tindakan yang menghambat kerja jurnalistik.
“Asosiasi pers yang diakui Dewan Pers bukan hanya PWI. Jumlahnya ratusan, dan semuanya memiliki hak yang sama untuk menjalankan fungsi kontrol sosialnya,” tegasnya.
Syamsul juga mempertanyakan apakah pada saat pernyataan tersebut disampaikan, pihak PWI hadir dan mengapa tidak ada klarifikasi dari organisasi tersebut. “Jika benar ada perwakilan PWI saat itu, seharusnya mereka meluruskan, bukan malah membiarkan situasi menjadi semakin keruh,” tambahnya.
GWI Banten menuntut agar Wakil Wali Kota Serang segera menyampaikan permintaan maaf secara terbuka kepada insan pers. Jika tidak, pihaknya akan menempuh jalur hukum untuk menindaklanjuti pernyataan yang dinilai mencederai profesi jurnalis tersebut.
Ia juga menyentil soal kesan bahwa setiap wartawan atau LSM yang ingin menjalankan tugas jurnalistik harus mengeluarkan biaya. “Jika benar demikian, maka hal ini patut dipertanyakan, karena fungsi pers adalah untuk menyampaikan informasi yang benar kepada publik, bukan untuk dikomersialkan,” ucapnya.
Terkait istilah “wartawan bodrek” yang sempat disinggung oleh Aulia, Syamsul menegaskan bahwa seharusnya istilah tersebut tidak digunakan secara sembrono. “Apa maksud dari istilah itu? Terbuat dari apa mereka? Ini harus dijelaskan secara terbuka kepada publik, agar tidak menjadi stigma negatif terhadap profesi wartawan secara keseluruhan,” tutupnya.
Sumber: DPD GWI Banten
Editor: S. Eman / Daenk