SUARAGEMPUR.COM | Tangerang – Sebuah kabar memilukan sekaligus memantik amarah kembali mencuat dari dunia perburuhan Indonesia. Hasim Adnan, buruh yang selama ini dikenal taat dan berdedikasi, harus menerima pil pahit pemutusan hubungan kerja (PHK) dari PT. Universal Luggage Indonesia (ULI) hanya karena menunaikan Sholat Isya.
Insiden memilukan ini terjadi di pabrik yang berlokasi di Jl. Raya Serang No.KM 32, Sumur Bandung, Jayanti, Kabupaten Tangerang. Hasim diberhentikan menyusul dikeluarkannya Surat Peringatan (SP) ke-2 oleh pihak HR & GA, yang dijadikan landasan formal oleh manajemen untuk mengeksekusi PHK. Namun, akar masalahnya jauh dari tudingan pelanggaran disiplin. Hasim “bersalah” hanya karena melaksanakan ibadah sholat pada 18 dan 24 Juli 2025.

Ironi pun menyeruak. Di tengah gembar-gembor komitmen perusahaan terhadap nilai-nilai inklusivitas dan kepatuhan terhadap regulasi nasional, justru tindakan perusahaan ini mencerminkan wajah buram korporasi yang abai terhadap hak dasar pekerja.
Serikat Pekerja Tekstil, Sandang dan Kulit (SP TSK) angkat bicara. Moh. Asnawi, S.H., Pengurus Cabang SP TSK, dengan tegas menyebut bahwa keputusan PHK terhadap Hasim bukan hanya keliru, tetapi juga melukai sendi-sendi konstitusional negara.
“Negara Republik Indonesia menjamin kebebasan beragama. Hal ini bukan sekadar norma etis, tetapi mandat konstitusi, Pasal 29 ayat (2) UUD 1945. Ketika korporasi sebesar PT. Universal Luggage Indonesia malah menginjak-injak hak dasar ini, maka yang dipertanyakan bukan hanya etika, tapi legalitas dan kemanusiaan mereka,” tegas Asnawi. Jumat (22/8/2025).
Ia pun mendesak tindakan korektif segera.
“Perusahaan harus menindak tegas oknum yang menjadikan ibadah sebagai dalih untuk memecat. Jika tidak, kita patut curiga: adakah ini praktik sistematis yang membungkam hak-hak dasar pekerja?” tambahnya dengan nada tinggi.

Kecaman serupa datang dari Ketua PUK SP TSK PT. Universal Luggage Indonesia, Maesaroh. Ia mengecam keras tindakan manajemen yang menurutnya bukan saja menindas hak beribadah, tetapi juga melecehkan keberadaan serikat pekerja yang sah.
“Mereka bukan hanya memecat karena alasan ibadah, tapi juga terang-terangan meremehkan perjuangan kolektif buruh. Ini bukan sekadar arogansi, tapi pembangkangan terhadap hukum,” ujarnya lantang.
Keterangan Hasim semakin mempertegas dugaan intimidasi. Dalam pertemuan internal, Eko Jatmiko selaku HR Manager, disebut memberikan pernyataan bernada ancaman dan tekanan.
“Jika tidak mau tanda tangan surat PHK, kamu tidak akan dapat pesangon sepeser pun,” ucap Eko sebagaimana dituturkan Hasim.
Tak berhenti di situ, Eko bahkan diduga mengucapkan pernyataan yang mengejutkan:
“Serikat pekerja di sini belum punya kekuatan hukum apapun.”
Pernyataan ini bukan hanya menunjukkan pengabaian terhadap UU Serikat Pekerja, tetapi juga menyiratkan mentalitas feodal yang masih bercokol di tubuh manajemen.
Padahal, hak beribadah dijamin secara absolut dalam berbagai peraturan nasional dan internasional. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menegaskan bahwa:
“Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” (Pasal 22)
“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama… adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.” (Pasal 4)
Dengan demikian, langkah PHK terhadap Hasim Adnan bukan hanya cacat prosedural, tetapi juga berpotensi melanggar hak asasi manusia secara terang-terangan.
Kasus ini telah menyulut bara di kalangan buruh, aktivis, dan masyarakat luas. Sorotan publik pun tertuju pada manajemen PT. Universal Luggage Indonesia. Mereka kini dituntut untuk memberikan klarifikasi terbuka dan pertanggungjawaban menyeluruh.
Apakah di negeri ini, pekerja harus memilih antara tetap bekerja atau menjalankan ibadah? Apakah peluh buruh sedemikian murah hingga bisa dicampakkan hanya karena tunduk kepada Tuhan?
Pertanyaan-pertanyaan itu kini menggantung di udara. Dan jika tidak ada tindakan cepat dari pihak terkait, baik manajemen, Dinas Tenaga Kerja, maupun lembaga HAM, maka jangan salahkan publik jika menyimpulkan: perusahaan ini bukan hanya gagal secara manajerial, tapi juga cacat secara moral.
Reporter | Redaksi suaragempur.com