Proyek RTH Balaraja Diduga Langgar Prosedur: Tanpa Papan Informasi dan K3, Camat Pilih Bungkam

SUARAGEMPUR.COM | Kabupaten Tangerang — Proyek pembangunan fasilitas olahraga di kawasan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Alun-Alun Balaraja, Kabupaten Tangerang, kembali membuka luka lama soal buruknya tata kelola proyek pemerintah. Tanpa papan informasi, tanpa standar keselamatan kerja, dan tanpa pengawasan yang jelas, proyek ini menciptakan preseden kelam bagi semangat transparansi dan akuntabilitas publik yang selama ini didengungkan pemerintah, Selasa (29/7/2025).

Berlokasi strategis di jantung Kecamatan Balaraja—persis di samping kantor Camat—proyek ini justru mencolok karena absennya komponen dasar dalam pelaksanaan kegiatan yang dibiayai dana publik. Tidak ada papan proyek. Tidak ada perlengkapan keselamatan bagi para pekerja. Tidak ada pengawasan yang tampak. Semua berjalan begitu saja, seperti proyek gelap yang tak ingin diketahui publik.

Padahal, sesuai amanat Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, setiap proyek yang didanai APBD wajib memuat informasi lengkap, terbuka, dan dapat diakses publik melalui papan informasi proyek. Ketidakhadiran elemen ini bukan sekadar pelanggaran administratif, tetapi bentuk pengingkaran terhadap hak masyarakat untuk tahu ke mana uang mereka digunakan.

Tak berhenti di situ. Pelanggaran pun merambah ke aspek paling mendasar: keselamatan kerja. Para pekerja tampak bekerja tanpa helm, tanpa sepatu pelindung, bahkan ada yang hanya mengenakan sandal jepit. Fakta ini bukan hanya mencederai etika pelaksanaan proyek, tetapi juga berpotensi mengancam keselamatan nyawa manusia.

Jika perlengkapan K3 dan papan informasi sudah dianggarkan—sebagaimana lazim dalam struktur pembiayaan proyek pemerintah—lalu ke mana anggaran tersebut menguap?

Ketika awak media mencoba mengonfirmasi kejanggalan ini kepada salah satu pekerja di lapangan, jawabannya justru semakin memperkeruh situasi:

“Tanya aja Pak Camat, saya mah cuma kerja. Papan proyek gak ada, perlengkapan K3 juga gak ada. Saya gak tahu,” ucapnya datar.

Sayangnya, pertanyaan itu justru menguap tanpa jawaban. Upaya konfirmasi kepada Camat Balaraja yang dilakukan melalui pesan WhatsApp hanya berakhir dengan tanda centang dua—tanpa balasan, tanpa klarifikasi. Diam yang mengundang kecurigaan. Bungkam yang menciptakan asumsi.

Publik pun mulai bertanya-tanya: jika proyek pemerintah bisa berjalan begitu sembunyi-sembunyi, apa sebenarnya yang sedang ditutup-tutupi? Dan jika proyek ini bukan dari pemerintah, mengapa bisa menggunakan fasilitas publik tanpa otorisasi dan pengawasan?

Resa (32), seorang ibu yang kerap membawa anaknya bermain di RTH, mengaku resah.

“Saya jadi takut bawa anak ke sana. Batu beterbangan, gak ada batas pengerjaan, gak ada larangan masuk. Kalau ini proyek pemerintah, kok kesannya seperti proyek liar?”

Pertanyaan Resa mewakili keresahan kolektif publik yang mulai muak dengan praktik-praktik setengah hati dalam pelaksanaan proyek. Ketika asas transparansi diabaikan, ketika prosedur keselamatan dianggap sepele, dan ketika pejabat publik memilih diam, maka yang lahir bukanlah pembangunan—tetapi krisis kepercayaan.

Fenomena ini bukan kejadian tunggal. Ini adalah bagian dari pola yang berulang: lemahnya pengawasan, hilangnya akuntabilitas, dan budaya birokrasi yang gemar menutup mata.

Pemerintah Kabupaten Tangerang harus segera bertindak. Klarifikasi dibutuhkan. Evaluasi wajib dilakukan. Dan jika ditemukan pelanggaran, penegakan hukum tidak boleh ditawar-tawar. Karena publik tidak butuh proyek yang dibangun diam-diam—tetapi butuh kejelasan, kejujuran, dan keberanian untuk bertanggung jawab.

Jika tidak, maka proyek ini hanya akan menjadi simbol dari sebuah sistem yang gagal: gagal transparan, gagal melindungi pekerja, dan gagal menjawab kepercayaan rakyat.

Reporter : Napoleon Juliansyah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No Copy