Skandal Penahanan Ijazah di SDIT Al Rasyid: Intimidasi Wali Murid, Dinas Mandul, Bupati Diminta Turun Tangan

SUARAGEMPUR.COM | Kabupaten Tangerang – Dunia pendidikan Kabupaten Tangerang kembali tercoreng oleh praktik tak berperikemanusiaan yang diduga kuat melanggar hukum dan merampas hak dasar siswa. SD Islam Terpadu (SDIT) Al Rasyid di Kecamatan Kresek dituding menahan ijazah dua alumni angkatan 2021/2022 dan 2022/2023 hanya karena hilangnya kwitansi pembayaran Lembar Kerja Siswa (LKS).

Saat dikonfirmasi, Kepala SDIT Al Rasyid, Achmad Sadani, S.Pd.I, membenarkan bahwa sejumlah ijazah siswa memang ditahan karena orang tua belum melunasi tunggakan SPP dan biaya LKS.

“Kami sudah sering mengirimkan surat panggilan kepada orang tua siswa, tetapi tidak direspons. Ijazah yang ditahan itu murni karena belum ada pelunasan SPP dan buku LKS,” ujar Sadani, pada Senin (19/05/2025).

Ia menambahkan, jika pembayaran tidak dilakukan, maka gaji guru pun terancam karena dana BOS tidak mencakup honorarium pendidik.

Namun, pernyataan Sadani dibantah tegas oleh Y, salah satu wali murid. Ia mengaku sudah sering mendatangi sekolah dan memohon agar ijazah anaknya diberikan, mengingat seluruh kewajiban telah diselesaikan sebelum kelulusan.

“Ijazah anak saya ditahan hanya karena kwitansi LKS hilang. Padahal bukunya sudah diterima, yang artinya sudah dibayar lunas. Ini logika sesat!” tegas Y.

Y juga mengungkapkan bahwa pihak sekolah memaksanya mencari kwitansi yang telah hilang, seolah pelunasan hanya sah jika dibuktikan secara administratif, bukan berdasarkan bukti distribusi buku.

Kesaksian Y diperkuat oleh wali murid lain berinisial E. Ironisnya, meskipun anaknya tak menerima buku LKS karena belum membayar, pihak sekolah tetap memaksa pelunasan LKS sebagai syarat pengambilan ijazah dan rapor.

“Anak saya memang tidak menerima buku LKS karena belum saya bayar, dan memang tidak diberikan sampai lulus. Tapi kenapa sekarang ijazah dan rapornya pun ikut ditahan? Saya malah dipaksa melunasi biaya LKS yang bahkan tidak pernah diterima,” ujar E dengan nada kesal.

Lebih dari sekadar penahanan dokumen, dugaan praktik intimidasi juga mencuat. Seorang alumni yang enggan disebutkan namanya mengaku pernah mendapat ancaman langsung dari kepala sekolah.

“Kepala sekolah mengancam siswa yang orang tuanya belum membayar biaya semester agar tidak diperbolehkan ikut ujian,” ungkapnya.

Ironisnya, dalam komunikasi internal, Kepala Sekolah Achmad Sadani juga sempat meminta agar kasus ini tidak diekspos ke publik, khususnya oleh media SUARAGEMPUR. Permintaan tersebut dinilai sebagai upaya menutupi dugaan pelanggaran hak peserta didik dan menghindari akuntabilitas publik.

Padahal, Peraturan Menteri Pendidikan Nomor 1 Tahun 2021 dengan jelas melarang penahanan ijazah karena alasan tunggakan biaya pendidikan. Aturan ini diperkuat oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional serta panduan dari Ombudsman RI yang mengategorikan praktik ini sebagai bentuk maladministrasi berat.

Namun, pelanggaran terang-terangan ini justru berlangsung di bawah pengawasan Dinas Pendidikan Kabupaten Tangerang — lembaga yang semestinya menjadi benteng perlindungan hak-hak siswa.

Penahanan ijazah bukan persoalan administrasi biasa. Ini adalah bentuk sabotase terhadap masa depan anak bangsa. Sebuah dokumen penting yang semestinya menjadi tiket emas menuju pendidikan yang lebih tinggi, justru dijadikan alat pemerasan oleh oknum tak bertanggung jawab.

Masyarakat pun geram. Kemarahan publik terus membara karena kasus seperti ini bukan pertama kali terjadi. Tekanan finansial, pungutan liar, dan intimidasi terus merajalela, sementara Dinas Pendidikan hanya bersikap pasif tanpa langkah konkret.

Desakan keras kini dialamatkan kepada Dinas Pendidikan Kabupaten Tangerang untuk segera melakukan investigasi menyeluruh dan menjatuhkan sanksi tegas kepada pihak sekolah jika terbukti bersalah. Bukan sekadar teguran administratif, melainkan tindakan hukum yang transparan dan akuntabel.

Bupati Tangerang, juga didorong untuk tidak tinggal diam. Sebagai kepala daerah, ia memegang tanggung jawab moral dan konstitusional untuk memastikan pendidikan di wilayahnya bersih dari praktik keji dan tidak manusiawi.

Penahanan ijazah adalah pelanggaran serius terhadap hak konstitusional warga negara untuk memperoleh pendidikan yang layak, bebas dari diskriminasi dan tekanan ekonomi. Jika negara memilih diam, publik berhak bertanya: ada apa di balik pembiaran ini?

Penulis : Fachri Huzzer
Editor : S. Eman / Daenk

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No Copy