Tersandung Skandal Moral, Kyai AB Diduga Lepas Tanggung Jawab atas Anak di Luar Nikah

SUARAGEMPUR.COM | Kabupaten Tangerang — Citra kesalehan seorang tokoh agama kembali menuai sorotan tajam setelah sebuah kisah memilukan menyeruak ke permukaan. Sosok yang selama ini dikenal sebagai Kyai Haji inisial AB, bertempat di Kampung Pinggir Rawa RT 003/ RW 001, Desa Songgom Jaya, Kecamatan Cikande, Kabupaten Serang. Seorang dai yang kerap tampil dalam forum keagamaan, kini terseret dalam dugaan skandal moral yang mencoreng kehormatan institusi agama itu sendiri. Sabtu (9/8/2025).

Adalah inisial PP (28), seorang perempuan muda asal Perumahan Villa Balaraja, Desa Saga, Kecamatan Balaraja, Kabupaten Tangerang, yang membuka suara. Dalam pengakuannya, ia mengungkapkan kisah relasi personalnya dengan AB, yang tak lain adalah sosok yang ia kenal melalui aplikasi kencan daring, Tinder, pada awal 2023. Pertemuan itu, yang seharusnya menjadi kisah pertemanan biasa, berujung pada drama asmara yang menanggalkan seluruh atribut keteladanan dari sang tokoh agama.

Menurut PP, hubungan keduanya berlangsung intens dan sarat muatan emosional, yang pada akhirnya menyeret mereka ke dalam hubungan fisik yang terjadi berulang kali di berbagai tempat. Titik nadir dari relasi ini terjadi pada Desember 2024, saat keduanya kembali berhubungan di sebuah apartemen di kawasan Tripark, Cikokol, Tangerang. Namun sepekan berselang, AB menghilang tanpa jejak, memutus komunikasi sepihak. Tanpa penjelasan, tanpa tanggung jawab.

Tragedi tak berhenti di situ. Pada 2 April 2025, PP dinyatakan hamil. Ketika kabar itu disampaikan, AB awalnya berkelit, menolak mengakui bahwa ia adalah ayah biologis dari janin tersebut. Setelah didesak secara terus-menerus, AB akhirnya mengakui, namun hanya sebatas lisan. Pernikahan siri pun dilakukan dua minggu setelah Idul Fitri 2025. Sebuah upaya “tambal sulam” yang tampak lebih seperti strategi peredaman ketimbang bentuk pertanggungjawaban sejati.

Sayangnya, pernikahan itu tak bertahan lama. Beberapa minggu kemudian, PP kembali harus menelan pil pahit: sang kyai menceraikannya secara sepihak melalui kuasa hukumnya, berdalih telah menikah lagi. Tak ada proses dialog, tak ada mediasi. Hanya pengabaian yang dibalut alasan hukum.

Puncaknya terjadi pada 1 Agustus 2025, ketika PP melahirkan anak dari hasil hubungan tersebut. Namun alih-alih hadir sebagai ayah, AB justru meminta tes DNA untuk memastikan keabsahan anak itu, padahal sebelumnya telah mengakui peran biologisnya secara terbuka. Yang lebih mencengangkan, AB meminta biaya tes ditanggung bersama. Sebuah manuver yang mencerminkan keengganan mengambil tanggung jawab penuh atas perbuatannya.

“Ini bukan soal uang. Ini soal pengakuan. Anak saya bukan hasil tipu muslihat. Kami hanya ingin pertanggungjawaban sebagai laki-laki, sebagai ayah, dan sebagai orang yang pernah mengikrarkan janji, walau secara siri,” ujar YD (inisial_red), ayah kandung PP, dengan nada kecewa.

Dalam upaya menyelesaikan persoalan secara kekeluargaan, YD orang tua PP dan Hariri (saudara_red) mendatangi Kepala Desa Songgom Jaya, Cikande—Muhtadi—pada, Kamis malam 7 Agustus 2025, dengan harapan bisa menjembatani pertemuan. Sang kades sempat menjanjikan akan memanggil AB. “Besok saya akan coba undang AB ke rumah saya. Mudah-mudahan dengan status saya sebagai kades, dia bersedia datang,” ujarnya.

Namun harapan itu kandas. Esok harinya sampai saat ini, kabar datang dari Kades Muhtadi: AB tidak menunjukkan itikad baik untuk hadir. Hal ini memunculkan kecurigaan, apakah benar sang kades serius mengupayakan penyelesaian? Ataukah ada tekanan lain yang membuatnya tak bisa menindak tegas?

“Kami mulai meragukan komitmen kepala desa. Apa benar ini murni soal ketidakhadiran AB, atau ada unsur pembiaran karena status sosial dan keagamaannya?” cetus Hariri yang ikut mendampingi YD.

Ironi kian terasa ketika PP mengungkap bahwa AB, di tengah situasi genting, justru mengirimkan video tak senonoh, berupa rekaman dirinya sedang berhubungan intim dengan perempuan lain. Entah apa motivasi di balik tindakan bejat tersebut. Sebuah tindakan yang jauh dari akhlak seorang pemuka agama.

“Apakah ini yang disebut panutan umat? Adakah warasnya seorang kyai yang mengumbar syahwat lalu mengingkari amanahnya sebagai seorang laki-laki?” tanya YD, retoris.

Skandal ini sontak mengguncang kepercayaan masyarakat. Gelar “Kyai” yang selama ini disematkan pada AB kini menjadi beban moral. Apakah masih layak seseorang yang menanggalkan tanggung jawab, mencabik harga diri perempuan, dan menodai etika agama, disebut ulama?

Publik menanti jawaban. Bukan hanya dari AB, tapi juga dari institusi keagamaan, aparat, dan masyarakat luas: apakah kita akan terus membiarkan “tokoh” semacam ini berlindung di balik sorban dan jubah suci, sementara kelakuannya lebih najis dari debu jalanan? (Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No Copy