Kabupaten Tangerang | SUARAGEMPUR.COM – Persoalan lingkungan, termasuk pengelolaan sampah, seharusnya menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah dan masyarakat. Namun, di Kecamatan Balaraja, isu sampah di Jalan Baru Sentiong, Desa Tobat, justru menimbulkan polemik baru. Narasi yang berkembang seolah-olah menempatkan masyarakat sebagai pihak utama yang harus disalahkan, sementara kinerja pemerintah menjadi sorotan tajam. Senin (20/01/2025)
Kepala UPTD 2 DLHK Balaraja, H. Fajar Budi Pribadi, S.Ap., M.Si., menyebut kurangnya kesadaran masyarakat dalam membuang sampah sebagai penyebab utama penumpukan sampah di lokasi tersebut. Namun, pernyataan ini dinilai oleh banyak pihak sebagai langkah defensif yang mengalihkan perhatian dari kelemahan sistem pengelolaan sampah di wilayah itu.
Nurdin, Wakil Ketua Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (YLPK) Perari DPD Provinsi Banten, menyatakan bahwa tuduhan terhadap masyarakat tidak adil dan terkesan sebagai upaya pencitraan belaka. “Menyalahkan masyarakat itu bukan solusi. Yang perlu dilakukan adalah introspeksi terhadap sistem yang ada. Jika pihak UPTD tidak mampu menjalankan tugasnya secara profesional, mengapa tidak melibatkan pihak lain yang lebih kompeten?” ujarnya tegas.
Senada dengan itu, Daenk, seorang pemerhati lingkungan, juga menyoroti langkah pemerintah yang dianggap hanya reaktif. “Pengangkutan sampah secara besar-besaran itu penting, tetapi itu bukan solusi jangka panjang. Tanpa TPS (Tempat Penampungan Sementara) yang memadai, TPA (Tempat Pemrosesan Akhir) yang terkelola baik, dan edukasi berkelanjutan, masalah ini akan terus berulang. Jangan hanya sibuk menuding masyarakat,” tegasnya.
Daenk juga mengkritik minimnya fasilitas yang disediakan oleh UPTD 2 DLHK. “Kalau tidak ada fasilitas yang jelas, bagaimana masyarakat tahu di mana harus membuang sampah? Pemerintah adalah pengelola utama. Kalau ada masalah, itu artinya sistemnya yang bermasalah, bukan sekadar kesalahan warga,” tambahnya.
Kemarin, UPTD 2 DLHK mengerahkan 10 armada truk untuk mengangkut sampah dalam operasi besar-besaran di lokasi tersebut. Namun, warga setempat menilai langkah ini hanya respons sesaat akibat tekanan publik. “Hari ini sampah diangkut, tapi besok pasti numpuk lagi. Sistemnya tidak menyelesaikan masalah dari akarnya,” ujar salah seorang warga yang enggan disebutkan namanya.
Keluhan lain juga muncul terkait kurangnya sosialisasi dan arah yang jelas dari pihak DLHK. “Kami tidak tahu lokasi pembuangan sampah yang resmi karena tidak ada arahan. Kalau terus begini, siapa sebenarnya yang harus bertanggung jawab?” ungkap seorang ibu rumah tangga di Desa Tobat.
Polemik ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah UPTD 2 DLHK sudah serius menjalankan tugasnya atau hanya berfokus pada langkah pencitraan untuk meredam kritik? Masalah ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan menyalahkan masyarakat tanpa adanya transparansi, evaluasi, dan perbaikan sistem yang terintegrasi.
Masalah sampah di Balaraja tidak hanya tentang pengangkutan, tetapi juga cerminan dari tata kelola lingkungan yang belum efektif. Tanpa penyediaan infrastruktur yang memadai, edukasi yang konsisten, dan langkah strategis yang berkesinambungan, masalah ini hanya akan menjadi siklus berulang.
Jika pemerintah terus menyalahkan masyarakat tanpa menghadirkan solusi nyata, kepercayaan publik terhadap kinerja pemerintah hanya akan semakin menurun. Apakah UPTD 2 DLHK sudah merasa benar dengan cara ini? Ataukah seharusnya ada evaluasi mendalam agar sistem pengelolaan sampah benar-benar bisa menjawab kebutuhan masyarakat?
(Oim)