SUARAGEMPUR.COM | Kabupaten Tangerang – Di balik nama besar dan sertifikasi bertaraf internasional yang selama ini diagungkan, PT. Demes Karya Indah justru menampakkan wajah kelam dunia konstruksi: angkuh, tak tersentuh, dan alergi terhadap transparansi. Sabtu (02/8/2025).
Proyek pembangunan mushola di lingkungan RSUD Balaraja, Kabupaten Tangerang, yang menelan anggaran publik lebih dari Rp.2 miliar, bukan menjadi etalase dedikasi dan kualitas sebagaimana semestinya. Sebaliknya, proyek ini kini tercoreng oleh tindakan represif yang tak hanya mencederai etika kerja, tapi juga menyerempet pelanggaran hukum serius.
Peristiwa bermula saat sejumlah wartawan dan aktivis LSM mencoba menjalankan fungsi kontrol sosial mereka di lokasi proyek. Alih-alih disambut dengan keterbukaan, mereka justru disambut dengan penolakan kasar, pengusiran verbal, hingga aksi fisik yang membahayakan keselamatan. Salah satu jurnalis, Supriadi alias Bonay, hampir terjatuh saat bajunya ditarik paksa oleh oknum yang mengaku sebagai pelaksana proyek.
Dalam video yang beredar luas, saat Bonay mempertanyakan alasan pelarangan peliputan, jawaban yang diterima justru mempertebal aroma arogansi:
“Iya, saya memang melarang!” jawab sang pelaksana dengan nada tinggi, seolah-olah area proyek adalah tanah pribadi yang kebal hukum.
Tindakan ini bukan sekadar bentuk pengusiran. Ia patut diduga kuat sebagai tindakan penghalangan kerja jurnalistik, sebagaimana diatur dalam UU Pers Nomor 40 Tahun 1999, pasal 18 ayat (1). Hukum menyatakan tegas, bahwa siapa pun yang menghalangi kerja pers dapat dikenai hukuman penjara hingga dua tahun atau denda maksimal Rp.500 juta.
Ironisnya, keberanian mengintimidasi ini seolah mendapat karpet merah dari sebagian aparat penegak hukum. Saat wartawan hendak membuat laporan di Polsek Balaraja, mereka justru diarahkan untuk “musyawarah”. Sebuah pendekatan yang tidak hanya melukai rasa keadilan, tetapi juga membuka ruang impunitas.
“Ini bukan urusan pribadi. Ini bagian dari tugas negara! Jika ada pelanggaran hukum, harus diproses secara hukum, bukan disulap jadi perkara kekeluargaan,” tegas Buyung, seorang aktivis LSM yang turut hadir dalam insiden.
Pertanyaan pun mengemuka: di mana peran negara saat kekuasaan kontraktor menjelma bak raja kecil di proyek publik? Di mana peran pengawas, ASN, dan lembaga teknis yang seharusnya menjaga integritas proyek dari arogansi pelaksana?
Tak bisa dipungkiri, PT. Demes Karya Indah dikenal sebagai kontraktor dengan dokumen lengkap: ISO, jaminan mutu, hingga klaim bertaraf internasional. Namun, perilaku di lapangan justru menunjukkan watak anti-kritik dan pengabaian terhadap prinsip-prinsip keterbukaan.
Dugaan pelanggaran UU Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), penghalangan terhadap kerja media, serta pengusiran terhadap pihak LSM, adalah sinyal kuat bahwa proyek ini berjalan tanpa pengawasan berarti.
Padahal, proyek pembangunan mushola bukan sekadar pembangunan fisik. Ia mestinya menjadi simbol nilai-nilai spiritual, ruang publik, dan partisipasi masyarakat. Jika yang tampil justru premanisme proyek dan intimidasi terhadap media, maka publik layak bertanya: apa yang sedang disembunyikan?
Untuk menjaga marwah negara hukum, Buyung dan para aktivis Kabupaten Tangerang mendesak: BPK, Inspektorat Daerah, dan aparat penegak hukum untuk melakukan audit teknis, administratif, dan hukum secara menyeluruh terhadap proyek ini. Setiap pelanggaran harus diusut, setiap pelaku harus dimintai pertanggungjawaban.
Sebab jika tidak ada sanksi, maka arogansi ini akan menjadi preseden buruk. Bahwa siapa pun yang membawa bendera proyek negara bisa bertindak seenaknya, menindas hak publik atas informasi, bahkan melecehkan kerja jurnalistik yang dijamin konstitusi.
Ditengah gembar-gembor reformasi birokrasi dan tata kelola anggaran yang bersih, kasus ini menjadi bukti bahwa masih ada ruang gelap di balik tembok proyek. Ruang yang tidak bisa dibongkar dengan diam, tapi harus dihadapi dengan keberanian, hukum, dan keberpihakan kepada rakyat.
Reporter : Daenk