Dugaan Intimidasi dan Bahasa Binatang Oleh Oknum Polisi: Hukum Dipermainkan, Pelapor Dibungkam

SUARAGEMPUR.COM | Tangerang — Dugaan intimidasi oleh oknum kepolisian kembali mencoreng wajah penegakan hukum di Indonesia. Kali ini, kasus menimpa Dimas Permadi, seorang pekerja PT. Nikomas Gemilang, yang justru menjadi korban perlakuan kasar usai melaporkan dugaan pemalsuan tanda tangan oleh oknum serikat pekerja PSP SPN. Bukannya mendapat perlindungan sebagai pelapor, Dimas malah diperlakukan layaknya pesakitan saat memenuhi panggilan di Polres Serang Kabupaten, Rabu kemarin (23/04/2025).

Semua bermula dari laporan Dimas yang kemudian diberitakan oleh salah satu media online. Laporan itu menyoroti pernyataan tajam: “Jangan sampai hukum hanya tajam ke bawah tapi tumpul ke atas.” Ungkapan itu rupanya menyulut bara di internal kepolisian. Sehari setelah berita tayang, Dimas menerima telepon dari anggota Polres bernama Ikwan pada pukul 20.23 WIB, memintanya hadir keesokan paginya.

Dimas datang bersama dua rekannya, Ali dan Riski, namun hanya dirinya yang diizinkan masuk ke ruang Unit II Tipiter. Di sana, ia mengaku mendapat tekanan verbal yang kasar dari seorang anggota polisi. Ia didesak untuk men-takedown berita, dimarahi karena narasi yang dinilai “menyudutkan polisi”, dan lebih buruk lagi, dihujani dengan kata-kata seperti “an**ng” dan “to*ol”. Bahkan lembaga bantuan hukum (LBH) yang mendampinginya disebut sebagai “LBH an**ng”.

Oknum polisi yang disebut dalam pengakuan Dimas adalah Kanit Tipiter Satreskrim Polres Serang Kabupaten, Sanggrayugo WP, S.Tr.K. Sikap represif aparat ini bukan hanya mencederai etika profesi, tapi juga menginjak-injak marwah konstitusi dan keadilan publik.

Moh. Asnawi, kuasa hukum Dimas, angkat suara dengan nada geram. “Ini bukan hanya pelecehan terhadap klien saya, tapi penghinaan terang-terangan terhadap hukum itu sendiri. Dimas datang membawa keberanian sipil, malah diperlakukan seperti kriminal,” tegas Asnawi. Kamis (24/04/2025).

Ia menekankan, pemanggilan kliennya tanpa pemberitahuan kepada kuasa hukum adalah pelanggaran serius. “Hak atas pendampingan hukum adalah hak konstitusional. Mengabaikannya berarti menampar konstitusi secara terang-terangan,” ujar Asnawi.

Ia juga mengumumkan akan membawa kasus ini ke Divisi Propam Mabes Polri dan Komnas HAM. “Pernyataan bernada binatang dari aparat bukan sekadar kekasaran. Ini pembungkaman! Upaya meredam suara rakyat yang sedang berjuang menuntut keadilan. Dan kami tidak akan tinggal diam,” tandasnya.

Ironisnya, ini bukan kasus pertama. Sebelumnya, Leni pekerja PT. Pou Chen Indonesia juga melaporkan dugaan pemalsuan tanda tangan oleh oknum PSP SPN ke Polda Banten pada 10 Januari 2025. Hingga kini? Sunyi. Tak ada perkembangan berarti. Publik pun bertanya-tanya: apakah hukum kita masih hidup, atau sudah dikubur oleh kepentingan?

Perlakuan kasar terhadap pelapor, minimnya progres penanganan, dan arogansi aparat menunjukkan satu hal: kita sedang menghadapi krisis moral dalam tubuh penegak hukum. Di mana hukum seharusnya jadi pagar keadilan, kini menjadi alat represi dan intimidasi.

Kami menyerukan kepada Kapolri, kepada Divisi Propam, hingga kepada Presiden Republik Indonesia: jangan lagi berdiam diri. Ini bukan hanya tentang satu orang, tapi tentang masa depan keadilan di negeri ini. Bersihkan institusi dari oknum yang menjadikan seragam sebagai alat menindas rakyat. Jangan biarkan institusi kehilangan kepercayaan publik hanya karena segelintir pelanggar.

Hukum harus tajam ke atas dan ke bawah. Kalau tidak, itu bukan hukum. Itu tirani.

Redaksi: suaragempur.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No Copy