Kabupaten Tangerang | SUARAGEMPUR.COM – Sebuah rekaman video yang beredar di dunia maya pada 21 Oktober 2024, mengguncang ranah publik. Dalam video tersebut, menampilkan pernyataan mengejutkan dari Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT), Yandri Susanto. Yandri menyoroti keberadaan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) serta wartawan yang ia sebut sebagai “wartawan Bodrex,” yang menurutnya kerap mengganggu kinerja kepala desa dengan meminta dana Rp 1 juta per desa. Jika praktik ini terjadi di 300 desa, ia menegaskan jumlahnya bisa mencapai Rp 300 juta, angka yang lebih besar dari gaji seorang menteri.
Pernyataan itu tidak hanya memantik reaksi keras, tetapi juga menimbulkan pertanyaan, apakah Yandri tengah mengungkap fakta yang perlu ditindaklanjuti, atau justru berupaya membungkam kritik dan pengawasan terhadap pemerintah desa?
Lebih dari sekadar kritik, Yandri secara eksplisit meminta POLRI dan Kejaksaan untuk menangkap pihak-pihak yang ia tuduhkan. Namun, yang menjadi sorotan adalah ketidaktegasan nya dalam mendefinisikan siapa yang ia maksud dengan “LSM dan wartawan Bodrex.” Ambiguitas ini membuka ruang tafsir yang luas dan berpotensi menyeret pihak yang justru menjalankan fungsi kontrol sosial secara sah.
Rustam Efendi, S.H., M.H., selaku Pimpinan Perusahaan Media Suaragempur.com. Angkat bicara, menilai pernyataan Yandri sebagai bentuk pembungkaman terhadap kebebasan pers dan kontrol publik.
“LSM dan jurnalis memiliki peran strategis dalam mengawasi jalannya pemerintahan, termasuk di tingkat desa. Jika ada dugaan penyimpangan, justru mereka yang seharusnya dilindungi, bukan dikriminalisasi,” tegas Rustam, pada Minggu (2/2/2025).
Lebih jauh, ia menyoroti bagaimana pernyataan Yandri berlawanan dengan kebijakan pemerintahan sebelumnya yang justru mendorong masyarakat untuk aktif mengawasi pengelolaan dana desa. Mantan presiden bahkan menekankan pentingnya pelaporan jika ditemukan indikasi penyalahgunaan anggaran.
Dalam video yang beredar, Yandri tampak melontarkan pernyataan dengan nada santai, bahkan cengengesan, saat memberi perintah kepada seorang jenderal bintang dua, Fadil, untuk menangkap pihak yang ia tuding. Sikap ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai pemahaman seorang pejabat negara terhadap prinsip transparansi dan akuntabilitas publik.
Jika pengawasan dari LSM dan jurnalis dianggap sebagai gangguan, lalu siapa yang akan memastikan bahwa dana desa benar-benar digunakan untuk kepentingan masyarakat? Apakah justru ada ketakutan bahwa investigasi independen akan mengungkap fakta yang tidak diinginkan oleh para penguasa desa?
Kontroversi ini mencerminkan ketegangan klasik antara kekuasaan eksekutif dan pengawasan publik. Pernyataan Yandri memicu kekhawatiran akan kriminalisasi terhadap jurnalis dan aktivis, sementara di sisi lain, ia juga membuka diskursus mengenai praktik penyalahgunaan peran media dan LSM dalam memanfaatkan jabatan untuk kepentingan pribadi.
Kini, publik menantikan klarifikasi dari Yandri Susanto dan pihak berwenang. Jika memang ada oknum yang menyalahgunakan peran LSM dan media untuk mencari keuntungan pribadi, tentu tindakan hukum yang adil perlu ditegakkan. Namun, jika pernyataan ini hanya cerminan arogansi kekuasaan, maka publik berhak mempertanyakan kembali kualitas kepemimpinan di negeri ini.
Redaksi : suaragempur.com