Naik Tarif, Air Tetap Tak Mengalir: Warga Villa Balaraja Tagih Tanggung Jawab PDAM Tirta Kerta Raharja

SUARAGEMPUR.COM | Kabupaten Tangerang – Di tengah gelombang keresahan akan krisis air bersih, ironi justru datang dari kebijakan Pemerintah Kabupaten Tangerang. Melalui Peraturan Bupati Tangerang Nomor 10 Tahun 2025, tarif air minum pelanggan PDAM Tirta Kerta Raharja resmi dinaikkan per Juni 2025. Namun alih-alih membawa perbaikan, kebijakan ini justru mempertebal kekecewaan publik: tarif naik, air tak kunjung mengalir, Selasa (12/8/2025).

Warga Perumahan Villa Balaraja, RT.012 RW.005, Kecamatan Balaraja, menjadi contoh nyata dari kegagalan sistemik ini. Khususnya di Blok N — wilayah yang kerap disebut sebagai “zona mati” — air tidak mengalir selama empat hari berturut-turut. Bukan fenomena baru, melainkan babak lanjutan dari kisah lama tentang layanan yang tidak sebanding dengan iuran.

Sebuah video viral memperlihatkan keluhan seorang ibu rumah tangga yang terbangun pukul dua dini hari demi memastikan aliran air ke rumahnya. “Sudah tiga hari air tidak ngalir, padahal mesin PDAM hidup. Bangun lagi jam dua, masih belum ngalir juga. Ya Allah, Bapaak???” ujarnya dengan nada putus asa.

Fenomena “begadang demi air” kini menjadi rutinitas harian warga. Mereka berjaga di tengah malam, menyalakan mesin pompa, berharap tetes demi tetes air bisa dikumpulkan. Ironisnya, tanpa bantuan pompa, air bahkan tidak mampu mencapai keran di rumah. Akibatnya, beban listrik meningkat, risiko kerusakan mesin menghantui, dan kenyamanan hidup pun dikorbankan.

Abdul Majid, salah satu warga yang tinggal di ujung perumahan, menyuarakan amarah kolektif warga.

“Ini bukan keluhan baru. Bertahun-tahun kami hidup dengan ketidakpastian. Sekarang tarif naik, tapi air tetap tidak ada. Uang kami ditarik, layanan tidak jalan. Mana kehadiran PDAM? Bahkan informasi pun tidak ada. Kami hanya diminta bayar, tanpa tahu apa yang dibayar,” tegasnya.

Pernyataan Abdul bukan sekadar unek-unek warga, melainkan cerminan dari ketimpangan antara kebijakan dan kenyataan. Kenaikan tarif air semestinya disertai peningkatan kualitas layanan. Namun yang terjadi justru sebaliknya: hak dasar masyarakat justru diabaikan, sementara beban ekonomi ditambah.

Dalam Perbup No. 10/2025, tarif pelanggan diklasifikasikan berdasarkan kategori sosial dan penggunaan. Namun logika kebijakan itu menjadi cacat ketika sebagian pelanggan bahkan tidak mendapatkan pasokan air sama sekali. Ini bukan hanya persoalan teknis, tapi menyentuh inti dari akuntabilitas publik dan hak konstitusional warga negara atas layanan dasar.

Warga pun mendesak agar Pemerintah Kabupaten Tangerang segera turun tangan. Tidak cukup hanya menerbitkan regulasi; pengawasan, evaluasi, dan tindakan nyata harus segera dilakukan. Peninjauan ulang tarif menjadi langkah minimal. Namun yang lebih penting, sistem distribusi dan infrastruktur air perlu segera dibenahi.

Dalam konteks ini, air tak bisa dipandang sekadar sebagai komoditas yang diperjualbelikan. Ia adalah kebutuhan fundamental, hak hidup yang melekat pada setiap warga negara. Maka ketika layanan air dibiarkan timpang, sesungguhnya negara tengah abai terhadap kewajibannya.

Warga Villa Balaraja telah bersabar, tapi kesabaran itu kini di ujung batas. Selama air belum mengalir, suara protes akan terus menggema. Sebab bagi mereka, diam berarti menerima ketidakadilan. (Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No Copy