Skandal Pembongkaran Kios di Balaraja Warga Rugi Puluhan Juta, Nama Oknum Anggota Polsek Balaraja Disebut

SUARAGEMPUR.COM, TANGERANG | Polemik pembongkaran bangunan permanen milik Hamudi, warga Kampung Cariu, Desa Tobat, Kecamatan Balaraja, Kabupaten Tangerang, kian memanas. Bangunan berukuran 3 x 14 meter lengkap dengan kamar mandi itu difungsikan sebagai kios usaha susu anak-anak dan popok. Namun, pada Rabu malam, 21 Mei 2025 sekitar pukul 00.00 WIB, bangunan tersebut tiba-tiba dibongkar tanpa adanya pemberitahuan resmi, musyawarah, ataupun kesepakatan ganti rugi yang di sepakati, rabu(1/10/2025).

Hamudi menuturkan, pembangunan kios itu menghabiskan dana pribadi sekitar Rp49 juta. Sebelum mendirikan, ia telah meminta izin secara lisan kepada almarhum Abah Ibing, Mantri Perairan yang saat itu berwenang, serta kepada Wa Ukan selaku pemilik lahan sawah di sekitar lokasi. Selama bertahun-tahun bangunan itu berfungsi normal tanpa ada masalah berarti, hingga akhirnya lahan sawah di belakang kios dijual kepada seorang pengusaha roti bernama Bapak Maman, yang dikenal luas sebagai Bos Roti ZB.

Seiring beralihnya kepemilikan lahan, konflik mulai mencuat. Nama yang berinisial ( AR ) anggota aktif Polsek Balaraja dengan NRP 85080012, disebut-sebut terlibat langsung dalam proses pengurugan sawah milik Maman. Pengurugan tersebut justru berimbas pada perataan kios milik Hamudi.

Bahkan, menurut pengakuan Hamudi, AR sempat melontarkan pernyataan mengejutkan. “Ini mah urusan saya, saya yang ngatur, saya pemborongnya di sini,” ujarnya saat didatangi Hamudi. Ucapan itu dianggap menunjukkan sikap seolah-olah dirinya pemegang kuasa di wilayah tersebut. Padahal, sebagai anggota aktif kepolisian, AR mestinya bersikap netral dan menjadi penengah ketika ada polemik di masyarakat. Pernyataannya yang mengaku sebagai “pemborong pengurugan lahan” justru menguatkan dugaan keberpihakan kepada pihak yang punya uang.

Sebelum peristiwa pembongkaran, sempat dilakukan musyawarah pada Senin malam, 12 Mei 2025. Pertemuan itu dihadiri sejumlah tokoh masyarakat, termasuk Ketua RT, Ketua RW, serta perwakilan dari pihak pembeli dan penjual sawah. Namun, musyawarah berakhir tanpa kesepakatan. Bapak H. Mulyana selaku wakil dari Bos Roti sempat menjanjikan adanya musyawarah lanjutan di Balai Desa Tobat, tetapi hingga pembongkaran dilakukan, undangan resmi tidak pernah diterbitkan.

Hamudi pun menempuh jalur resmi dengan melayangkan surat somasi pada 23 Mei 2025. Namun, penyelesaian tetap buntu. Ketika kembali digelar musyawarah pada 28 Mei di rumah Ustad Ibrahim, pihak penjual maupun pembeli sawah sama sekali tidak hadir. Hanya Hamudi, Ketua RT, Ketua RW, dan pemilik rumah yang datang.

Kepala Desa Tobat, H. Endang Suherman, sempat berinisiatif mengundang pihak-pihak terkait pada 2 Juli 2025. Namun, lagi-lagi, penjual maupun pembeli sawah tidak hadir. Pertemuan kembali gagal membuahkan hasil, membuat Hamudi merasa haknya sebagai warga negara diabaikan.

Kasus ini memunculkan pertanyaan besar mengenai peran aparat kepolisian yang seharusnya menjaga ketertiban dan menjadi penengah, bukan justru diduga terlibat dalam persoalan pribadi atau kepentingan bisnis. Pernyataan AR yang mengaku sebagai “pemborong urugan tanah” kian memperkuat kesan adanya konflik kepentingan yang mencederai kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian di tingkat lokal.

Hamudi sendiri menegaskan, ia tidak menolak apabila ada aturan resmi yang melarang bangunannya berdiri di atas tanah milik negara atau pihak lain. Namun, yang ia sesalkan adalah cara-cara sepihak yang dilakukan tanpa musyawarah, tanpa pemberitahuan tertulis, dan tanpa ganti rugi. “Kalau memang salah, harusnya ada proses hukum atau administratif yang jelas, bukan main bongkar begitu saja,” ujarnya.

Hingga berita ini diturunkan, pihak Bapak Maman, maupun AR dari Polsek Balaraja, belum memberikan klarifikasi resmi atas tudingan yang menyeret nama mereka.

Kasus ini pun menjadi sorotan warga sekitar, yang menilai bahwa aparat mestinya berdiri di tengah masyarakat, bukan berpihak pada salah satu golongan. Polemik ini dikhawatirkan bisa memicu ketidakpercayaan publik apabila tidak segera ditangani secara transparan dan sesuai aturan hukum yang berlaku.

Redaksi : SUARAGEMPUR

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You cannot copy content of this page