Kabupaten Tangerang | SUARAGEMPUR.COM – Balaraja diguncang skandal, dengan dugaan pembungkaman kritik terhadap para pejabatnya. Seorang oknum wartawan diduga berupaya menghambat kritik publik terhadap aparatur kecamatan dengan alasan yang mencurigakan. Saat dikonfirmasi melalui sambungan telepon WhatsApp, oknum tersebut menyatakan bahwa tindakan itu dilakukan “karena atas permintaan seseorang.” Namun, ketika ditanya lebih lanjut mengenai siapa sosok yang dimaksud, jawabannya tetap mengambang: “ada aja,” ujarnya singkat. Senin, (24/02/2025)
Pernyataan ambigu ini menimbulkan kegelisahan sekaligus spekulasi: Sejak kapan kritik terhadap pejabat harus melalui penyaringan? Apakah Kecamatan Balaraja kini telah menjadi arena kepentingan pribadi yang kebal terhadap pengawasan publik? Mengapa ada upaya membentuk grup eksklusif dengan menyingkirkan media yang dikenal kritis?
Tindakan oknum ini memunculkan dugaan bahwa ia lebih mengutamakan kepentingan individu dibanding menjalankan amanah jurnalistik sebagai pilar demokrasi. Seorang jurnalis sejati seharusnya berada di garis depan dalam menegakkan transparansi, bukan menjadi alat pembungkaman demi keuntungan kelompok tertentu.
Lebih jauh, langkah ini mengesankan bahwa sang oknum memiliki pengaruh besar dalam menentukan informasi mana yang boleh dan tidak boleh diakses publik. Jika benar demikian, ini bukan hanya bentuk intervensi terhadap kebebasan pers, tetapi juga ancaman nyata terhadap hak masyarakat untuk mendapatkan informasi yang jujur dan akurat.
Gunawan Wibisono, SH., Ketua LSM Aji Saka Indonesia, tak ragu menyebut fenomena ini sebagai pengkhianatan terhadap dunia jurnalistik. “Wartawan pesanan bukan pencari kebenaran, melainkan makelar informasi yang menjual idealisme demi kepentingan elit,” tegasnya.
Kebiasaan membentuk media eksklusif sebagai corong propaganda adalah praktik culas yang hanya menguntungkan segelintir orang. Hanya narasi yang menguntungkan yang dibiarkan hidup, sementara kritik dibungkam seolah-olah kebenaran adalah ancaman. Ini bukan sekadar kemunduran kebebasan pers, ini adalah peringatan keras bagi demokrasi yang sedang digerogoti dari dalam.
Pejabat yang bersih tak pernah takut kritik. Justru, kegelisahan terhadap suara rakyat adalah indikasi bahwa ada sesuatu yang sedang disembunyikan. Jika pengelolaan pemerintahan di Balaraja memang transparan, mengapa harus bersusah payah mengontrol media? Mengapa kritik dianggap musuh, bukan bagian dari perbaikan?
Zarkasih alias Rizal, Ketua YLPK PERARI DPD Banten sekaligus Sekjen Ormas LMPI Marcab Kabupaten Tangerang, turut menyoroti fenomena ini. “Pers seharusnya menjadi mata dan telinga rakyat, bukan alat kekuasaan. Jika ada oknum yang menjadikan profesinya sebagai tameng bagi pejabat, maka ia telah kehilangan moralitas jurnalistiknya. Kebebasan pers harus dijaga agar demokrasi tetap sehat,” tandasnya.
Dalam pusaran kontroversi ini, pers seharusnya tetap berdiri tegak di atas prinsip kebenaran dan kepentingan publik, bukan tunduk pada tekanan atau intimidasi. Jika kritik terhadap pejabat dianggap ancaman, maka patut dipertanyakan bagaimana tata kelola pemerintahan di Balaraja sesungguhnya.
Kebebasan pers adalah fondasi demokrasi. Jika pers mulai dikendalikan, maka bukan hanya kebenaran yang dipertaruhkan, tetapi juga masa depan demokrasi itu sendiri. (Red)