Warga Gerobogan Desak Kepastian Hukum atas Izin Lingkungan Tower WiFi: PLT Desa Sukamulya Dorong Dialog Kekeluargaan

SUARAGEMPUR.COM | Kabupaten Tangerang – Dalam suasana yang memanas namun tetap terjaga dalam bingkai musyawarah, PLT Desa Sukamulya, Subhki, memfasilitasi forum terbuka bersama warga, perangkat kecamatan, Babinsa, dan Binamas untuk membahas secara khusus persoalan izin lingkungan atas berdirinya sebuah menara WiFi yang telah beroperasi selama kurang lebih 15 tahun di Kampung Gerobogan RT 03 RW 03, Desa Sukamulya, Kecamatan Sukamulya, Kabupaten Tangerang. Kamis, (22/05/2025)

Musyawarah yang digelar atas arahan Sekretaris Daerah ini menjadi titik temu dari berbagai keresahan warga, terutama menyangkut dugaan ketiadaan izin lingkungan yang sah sejak menara tersebut didirikan. Forum ini juga menghadirkan warga pelapor yang sebelumnya telah membawa kasus tersebut ke ranah Polresta Tangerang, menandakan bahwa persoalan ini telah melampaui sekadar ketegangan internal.

Dalam pernyataannya, Subhki menegaskan bahwa meski dirinya tidak memiliki kapasitas untuk mengambil keputusan hukum, ia merasa bertanggung jawab membuka ruang dialog. “Saya tidak punya wewenang hukum, tetapi saya wajib mempertemukan warga dalam semangat kekeluargaan. Soal keputusan hukum, itu ranah pengadilan. Tapi selama masih bisa dibicarakan, mari kita duduk bersama,” ujarnya.

Isu utama yang mengemuka adalah dugaan manipulasi dalam proses pengumpulan tanda tangan persetujuan lingkungan. Menurut Dito Bayu Winara, pengusaha pemilik tower, sebagian warga telah tandatangan. Namun, muncul tudingan bahwa tanda tangan tersebut diperoleh melalui janji bantuan sosial. Tudingan itu langsung dibantah oleh beberapa warga yang merasa difitnah dan mengaku tidak pernah menerima iming-iming dalam bentuk apapun.

Dinamika forum kian memanas ketika seorang warga mengaku telah menerima intimidasi dari pihak pengusaha. Ia menyampaikan bahwa dirinya diancam akan diproses hukum karena sudah tandatangan. “Yang ikut tandatangan, siap-siap saja masuk penjara,” ungkapnya menirukan intimidasi yang diterima. Pernyataan tersebut mengguncang suasana musyawarah, mendorong sebagian peserta menuntut agar isu ini turut ditangani secara serius.

Meskipun PLT Desa Sukamulya mencoba meredam dengan menyatakan bahwa isu intimidasi bukan bagian dari agenda forum hari itu, banyak pihak menilai bahwa pernyataan bernuansa ancaman tidak bisa diabaikan. “Jika benar terjadi, ini bukan sekadar pelanggaran etika, tetapi berpotensi menjadi tindak pidana pengancaman yang tidak boleh dibiarkan begitu saja,” ujar salah satu warga yang enggan disebut namanya.

Dari pihak kecamatan, perwakilan pemerintah menekankan pentingnya menjaga persatuan warga. “Kita ini satu keluarga besar. Jangan buru-buru membawa urusan ini ke jalur hukum. Musyawarah adalah jalan terbaik dalam menyatukan suara,” katanya dengan nada menenangkan.

Di sisi lain, kuasa hukum pengusaha menjelaskan bahwa operasional tower dilakukan secara perorangan oleh kliennya dan tidak sepenuhnya melibatkan PT Putra Lebak Banten (PLB), melainkan dalam bentuk kemitraan terbatas. Pernyataan ini membuka ruang pertanyaan baru mengenai batas tanggung jawab hukum antara individu dan entitas perusahaan yang bersangkutan.

Hingga akhir pertemuan, belum ada keputusan final yang dihasilkan. Forum bersepakat untuk menjadwalkan lanjutan musyawarah dalam waktu satu minggu ke depan guna mengakomodasi aspirasi warga secara lebih mendalam, sekaligus mencari jalan tengah yang berpihak pada kepentingan bersama.

Dalam wawancara terpisah, warga menyatakan kesediaan untuk membuka peluang pemberian izin lingkungan, namun dengan syarat adanya itikad baik dari pihak pengusaha. “Kami bisa saja kasih izin, tapi harus ada itikad baik dari pengusaha. Kebijaksanaan yang kami inginkan terhitung dari awal pembangunan. Sudah 15 tahun pak, jangan abaikan itu?,” tegas salah satu perwakilan warga.

Musyawarah ini menjadi cerminan nyata bahwa pembangunan, baik dalam skala besar maupun kecil, tidak hanya bergantung pada aspek teknis dan legalitas formal, tetapi juga legitimasi sosial dan etika lingkungan. Proses dialog akan terus berlanjut, namun harapan warga tetap satu: keadilan yang menyatukan, bukan kekuasaan yang memecah belah. (Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No Copy