Kabupaten Tangerang || suaragempur.com – Dalam sebuah hearing yang berlangsung di gedung DPRD Kabupaten Tangerang pada 21 Oktober 2024, Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Kasatpol PP) Agus Suryana mengeluarkan pernyataan yang menuai kontroversi. Ia menyebutkan dengan tegas bahwa semua galian tanah di Kabupaten Tangerang adalah ilegal. Pertanyaannya, mengapa pernyataan ini muncul setelah bertahun-tahun aktivitas galian berlangsung tanpa izin? Apakah ini bentuk dari kinerja yang seharusnya ditunjukkan atau sekadar sebuah retorika yang mencerminkan ketidakberdayaan dalam menghadapi realitas?
Dalam konteks ini, perlu kita telaah lebih dalam mengenai kebenaran pernyataan Agus Suryana. Selama ini, galian tanah di wilayah seperti Kronjo, Gunung Kaler, dan Sukadiri berjalan lancar, seakan-akan ada pengesahan tidak resmi yang memberi lampu hijau kepada para pelaku. Dengan kata lain, aktivitas ilegal ini sudah menjadi bagian dari kultur ekonomi lokal yang seharusnya diwaspadai. Kini, ketika masalah ini mencuat ke permukaan, muncul pernyataan yang seakan-akan menuntut tanggung jawab kepada Camat dan aparat penegak hukum. Ini menandakan adanya upaya untuk mencari kambing hitam di tengah ketidakmampuan untuk bertindak tegas.
Agus Suryana juga mengungkapkan keprihatinan dan rasa bersalahnya terhadap kerusakan lingkungan yang ditimbulkan. Namun, pernyataan emosional semacam ini, tanpa diikuti dengan langkah konkret, hanyalah suara kosong. Apakah pernyataan tersebut merupakan upaya untuk menutupi ketidakmampuan institusi dalam menjalankan tugas dan fungsinya? Terlebih, ketika dia berharap agar Camat segera melaporkan kegiatan galian, seakan-akan tanggung jawab utama ada di pundak mereka. Sudah seharusnya, Kasatpol PP sebagai pengawas utama memberikan instruksi yang jelas dan tegas, bukan justru melemparkan beban ke pihak lain.
Lebih jauh, Camat Gunung Kaler, Agus Kurnia, dengan berani menanggapi pernyataan Kasatpol PP tersebut. Ia menyebutkan bahwa “galian tanah di desa Kandawati sebenarnya telah ditutup, namun hanya dalam waktu singkat, aktivitas ilegal itu kembali dibuka.” Ini menunjukkan bahwa ada masalah mendasar dalam koordinasi dan eksekusi kebijakan di lapangan. Seharusnya, penegakan hukum tidak hanya dilakukan ketika media mengangkat isu ini. Ini menjadi cerminan dari lemahnya sinergi antara lembaga pemerintahan di daerah, yang seharusnya saling berkolaborasi demi penegakan hukum dan perlindungan lingkungan.
Ironisnya, meskipun Kasatpol PP berusaha menarik perhatian kepada isu galian tanah, yang selama ini seolah-olah dibiarkan, dia seharusnya introspeksi mengenai kontribusi lembaganya terhadap masalah ini. Adakah selama ini dia memantau dan menegur pelanggaran yang ada? Pertanyaan ini harus menjadi cermin bagi institusi yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam menjaga ketertiban dan keamanan di daerah.
Tidak hanya itu, pernyataan Agus Suryana pun mengundang kritik dari berbagai pihak. Banyak yang mempertanyakan keseriusan dan komitmen pemerintah daerah dalam menyelesaikan masalah ini. Sudah seharusnya tindakan diambil sebelum kerusakan lingkungan semakin parah. Alih-alih menunggu laporan dari Camat, kasatpol PP seharusnya proaktif dalam melakukan pengawasan. Ini adalah tanggung jawab yang tidak dapat diabaikan.
Seiring dengan itu, kehadiran aparat penegak hukum dalam menangani isu ini adalah sebuah keharusan. Namun, bagaimana mungkin penegakan hukum bisa efektif jika pemerintah daerah sendiri tidak menunjukkan komitmen yang kuat? Meminta bantuan polisi tanpa langkah konkret dari instansi terkait hanya akan berujung pada kekacauan. Kapan kita akan melihat tindakan nyata dari pihak-pihak yang berwenang?
Melihat fenomena ini, muncul satu pertanyaan besar: Apakah pemerintah daerah Kabupaten Tangerang benar-benar serius dalam menyelesaikan masalah galian tanah ilegal ini? Atau, ini hanya sekadar upaya untuk menenangkan publik di tengah gejolak isu lingkungan yang semakin mendesak? Publik berhak tahu siapa yang bertanggung jawab dan apa yang dilakukan untuk menanggulangi masalah ini.
Dari sudut pandang ketua Satgas Banten Kesti TTKKDH DPAC Balaraja, Tb. Bayu yang dikenal dengan sapaan Allen, menyampaikan, “Kita tidak bisa terus-menerus membiarkan masalah ini terjadi tanpa tindakan nyata. Pernyataan yang hanya mengandalkan retorika tanpa langkah konkret hanya akan memperburuk keadaan. Kita butuh tindakan, bukan hanya kata-kata,” ujarnya. Pernyataan ini menggarisbawahi pentingnya ketegasan dan kejelasan dalam penanganan isu yang telah berlarut-larut ini.
Akhir kata, kritik ini seharusnya menjadi pemicu bagi semua pihak yang terlibat untuk tidak hanya berdiam diri. Kewajiban untuk melindungi lingkungan dan menegakkan hukum adalah tugas bersama yang tidak bisa dipisahkan. Jika semua pihak terus saling melempar tanggung jawab, bukan tidak mungkin kerusakan akan terus berlanjut, dan akhirnya yang akan menderita adalah masyarakat dan lingkungan hidup kita. Sudah saatnya untuk bertindak nyata, bukan hanya beretorika.
(Oim)
Post Comment