Kabupaten Tangerang || suaragempur.com – Komite sekolah di Kabupaten Tangerang seharusnya menjadi garda depan dalam memperjuangkan kualitas pendidikan yang transparan dan merata. Tapi apa yang terjadi ketika lembaga ini malah berubah menjadi benteng penghalang? Bukannya membela kepentingan siswa dan wali murid, komite sekolah justru lebih sibuk mempermudah kebijakan-kebijakan sekolah yang tak mempedulikan kondisi ekonomi sebagian besar wali murid. Apakah ini komite yang berfungsi atau sekadar pajangan tanpa manfaat nyata?
Di banyak sekolah, fungsi utama komite memberi dukungan, menyusun kebijakan, mengawasi penggunaan anggaran hanya menjadi teks mati di atas kertas. Di dunia nyata, komite lebih sibuk menutup mata terhadap kesulitan ekonomi wali murid. Contoh paling nyata adalah kebijakan “wajib” study tour ke lokasi yang jauh dan mahal. Alih-alih memberikan kegiatan edukatif yang sejalan dengan kemampuan ekonomi wali murid, sekolah malah memaksakan program yang menguras kantong. Dan di mana peran komite? Bukannya melindungi, mereka malah mendukung dengan penuh semangat.
Komite sekolah yang seharusnya melindungi kepentingan orang tua malah terlihat abai terhadap Surat Edaran (SE) Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 400.3.5/4208-DISDIKBUD. SE ini jelas melarang perjalanan jauh yang membahayakan keselamatan siswa. Tapi, di lapangan, siapa yang peduli? Lalu, apa peran komite? Apakah komite sekadar stempel kebijakan sekolah tanpa mempertimbangkan keselamatan anak-anak? Bayangkan orang tua yang merasa was-was setiap kali melepas anaknya mengikuti study tour, khawatir dengan jarak dan risiko kecelakaan yang mengintai. Bukannya memberi solusi, komite malah ikut-ikutan mendorong.
Dugaan penyimpangan dana BOS di Tangerang hanya semakin menunjukkan betapa rapuhnya fungsi komite sebagai pengawas anggaran. Mereka yang seharusnya mengawal setiap rupiah justru tampak “mendiamkan” kecurangan yang beredar di belakang layar. Sementara itu, dana BOS yang seharusnya digunakan untuk kepentingan pendidikan malah diduga menjadi bancakan. Komite, yang seharusnya tegas dan berani, malah jadi patuh tanpa suara. Apakah mereka takut mengkritik sekolah, atau lebih senang ikut menikmati kemudahan yang mereka dapatkan dari posisi mereka?
Tidak hanya itu, komite sekolah juga terkesan melanggengkan praktik-praktik pungutan liar yang dibungkus kata-kata indah seperti “uang kas” atau “sumbangan”. Mereka bukannya memberantas, malah mendukung praktik ini seolah-olah normal. Seolah mereka lupa bahwa pungutan ini membebani wali murid yang tidak semuanya memiliki kemampuan ekonomi yang sama. Terlalu sering, wali murid yang merasa keberatan hanya bisa mengeluh di belakang karena tidak ada yang mewakili suara mereka. Apakah ini yang disebut “komite sekolah”?
Bukannya menjadi pelindung, komite justru seperti pengkhianat yang menyusup di dalam pagar pendidikan. Bukan hanya gagal mendengar aspirasi orang tua, komite malah terkesan menjadi perpanjangan tangan sekolah untuk memaksakan kebijakan yang memberatkan. Jika peran komite hanya menjadi stempel kebijakan tanpa ada keberpihakan, lantas untuk apa komite ini ada? Apakah para anggotanya hanya sibuk mencari keuntungan sendiri?
Para pemangku kebijakan di Tangerang harus segera angkat bicara. Cukup sudah ketidakadilan dan penyalahgunaan fungsi komite yang semakin meresahkan. Jika komite sekolah gagal melindungi hak-hak wali murid dan hanya menjadi “tangan kanan” sekolah yang memperkaya pihak tertentu, maka komite ini sudah tidak layak berdiri. Sudah saatnya Dinas Pendidikan dan Kebudayaan turun tangan, mengaudit secara menyeluruh seluruh aktivitas komite yang diduga menyimpang, dan memberi sanksi tegas bagi yang terbukti mengkhianati kepercayaan masyarakat.
Publik butuh transparansi, bukan janji manis tanpa aksi. Para orang tua di Tangerang sudah muak dengan komite sekolah yang hanya pandai memungut, tapi abai terhadap fungsi mereka yang sesungguhnya. Masyarakat menanti perubahan, bukan sekadar formalitas atau basa-basi. Jika pemangku kebijakan tetap berdiam diri, maka masyarakat berhak mempertanyakan, apakah mereka ikut menikmati “manisnya” pungutan dan ketidakberesan ini?
Penulis : Abdu Rohim