SUARAGEMPUR.COM, | TANGERANG Polemik mencuat di SMA Negeri 7 Kecamatan Kresek , Kabupaten Tangerang, setelah 21 siswanya kedapatan menenggak minuman keras di lingkungan sekolah. Alih-alih mencari solusi pembinaan, sejumlah siswa justru terancam putus sekolah. Orang tua murid mengaku tidak pernah diajak musyawarah, bahkan ditekan pihak sekolah untuk segera memindahkan anaknya, meski kondisi ekonomi keluarga tidak memungkinkan.
Salah satu siswa yang paling disorot adalah Hadi Masroni, pelajar kelas XII yang hanya tinggal enam bulan lagi menuju kelulusan. Namun, nasibnya kini tergantung di ujung tanduk. Statusnya digantung tanpa kepastian, bahkan wali kelas diduga pernah menyatakan bahwa seluruh guru tidak lagi mau mengajar Hadi.
Saat dikonfirmasi Media Suaragempur, Setiawan selaku perwakilan SMA 7 Kabupaten Tangerang membenarkan adanya kasus tersebut. Namun ia membantah tudingan adanya pemecatan atau pemaksaan pindah.
“Kami tidak ada memberhentikan siswa, hanya memberikan peringatan dan skorsing. Mereka tetap diberi tugas agar tidak tertinggal pelajaran. Sanksi ini hanya untuk memberikan efek jera agar tidak terulang kembali,” ujar Setiawan. Kamis ( 25/9/25 )
Namun pernyataan itu dibantah keras oleh orang tua siswa. Ahmad Nawawi, ayah Hadi Masroni, mengungkapkan fakta berbeda. Ia menyebut anaknya sudah tiga minggu tidak bisa bersekolah, padahal surat skorsing resmi hanya berlaku satu minggu.
“Kami orang tua tidak pernah diajak musyawarah. Kenapa pihak sekolah SMA 7 tidak duduk bersama dengan kami, malah langsung menekan anak-anak kami untuk pindah sekolah? Sedangkan kami orang tidak mampu, tidak punya biaya untuk pindah. Anak saya hanya tinggal enam bulan lagi lulus, tapi tidak diberi kesempatan. Ini tidak manusiawi,” tegas Ahmad dengan nada kecewa.
Ia juga mempertanyakan sikap pihak sekolah yang dianggap pilih kasih. “Kenapa sembilan siswa lain yang juga terlibat bisa bersekolah kembali, tapi anak saya tidak? Apa karena saya orang tidak mampu? Ini jelas tidak adil. Anak saya hanya ikut-ikutan, tapi masa depannya yang harus dikorbankan,” imbuhnya.
Berdasarkan informasi yang dihimpun, dari 21 siswa tersebut, sekitar 10 orang sudah pindah ke sekolah lain, 9 orang tetap bersekolah di SMA 7, sementara 2 siswa yakni Hadi Masroni dan M. Khaerul Anam terkatung-katung tanpa kepastian, hanya karena orang tua mereka tidak mampu membiayai perpindahan sekolah.
Kasus ini memantik keprihatinan, sebab hak anak untuk mendapatkan pendidikan dijamin oleh konstitusi dan undang-undang. Pasal 31 Ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.”
Pasal 9 Ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional juga menekankan bahwa “Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.”
Lebih lanjut, UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak menegaskan bahwa anak berhak memperoleh pendidikan tanpa diskriminasi.
Ironisnya, di tengah payung hukum yang begitu jelas, masih ada siswa yang nyaris kehilangan masa depannya hanya karena masalah disiplin yang semestinya bisa ditangani dengan pola pembinaan, bukan pengusiran.
Sampai berita ini diturunkan, Kepala Sekolah SMA 7 Kabupaten Tangerang, Suci Lestari, maupun pihak Dinas Pendidikan Provinsi Banten, belum terkonfirmasi atas polemik yang menimpa para siswa.
Kasus SMA 7 Kabupaten Tangerang ini menimbulkan pertanyaan besar, apakah hak anak atas pendidikan bisa digadaikan dengan alasan kedisiplinan? Ataukah ada praktik kesewenang-wenangan dan diskriminasi yang menyalahi aturan dalam dunia pendidikan kita?
Red : Suaragempur.com