Kabupaten Tangerang | SUARAGEMPUR.COM – SMA 16 Jayanti, Kabupaten Tangerang, menjadi sorotan setelah memberhentikan 10 siswa kelas 2 dengan alasan dugaan konsumsi minuman keras (miras) saat study tour ke Malang, Yogyakarta dan Suramadu. Keputusan ini memicu kontroversi karena dijatuhkan tanpa bukti konkret, tanpa botol minuman, tanpa rekaman, dan tanpa saksi yang kredibel. Kamis (13/02/2024)
Langkah sekolah yang terkesan tergesa-gesa ini memicu kemarahan para orang tua. Mereka menilai keputusan tersebut tidak hanya mencederai hak pendidikan anak-anak mereka, tetapi juga menghancurkan reputasi mereka di lingkungan sekolah dan masyarakat.
Dari keterangan beberapa siswa, pihak sekolah diduga menggunakan cara-cara yang tidak masuk akal untuk mencari bukti. Salah satunya dengan memaksa siswa mengakui kesalahan yang belum terbukti serta mencium bau mulut mereka guna mendeteksi alkohol.
“Saya tidak minum, tapi dipaksa mengaku. Guru-guru bahkan mendekati kami, mencium bau mulut, seolah-olah itu bisa jadi bukti sah,” ujar salah satu siswa yang diberhentikan.
Orang tua murid juga mengungkapkan kejanggalan lain. Pihak sekolah menuduh siswa membeli miras secara patungan dan membuang botolnya setelah dikonsumsi. Namun, tuduhan ini sama sekali tidak disertai dengan bukti fisik, saksi yang bisa dipercaya, atau rekaman kejadian.
Kemarahan pun meluas di kalangan orang tua siswa. Mereka mempertanyakan dasar keputusan sekolah yang sepihak dan tanpa kesempatan pembelaan bagi siswa.
“Kami tidak terima anak-anak kami diperlakukan seperti ini. Tidak ada bukti, tidak ada klarifikasi, hanya tuduhan sepihak. Ini bukan keadilan!” tegas salah satu orang tua siswa dengan nada penuh emosi.
Bahkan, beberapa wali murid mencurigai bahwa keputusan ini lebih bermuatan pribadi ketimbang profesional. Mereka menduga ada ketidaksenangan pribadi antara Kepala Sekolah, Jajang Suhayat, dengan beberapa siswa, yang berujung pada keputusan yang terkesan dipaksakan.
Saat dikonfirmasi, pihak sekolah melalui Guru BK, Ibu Rita, membenarkan bahwa pemecatan telah dilakukan dan sudah dikomunikasikan kepada orang tua secara kekeluargaan. Namun, saat ditanya mengenai bukti konkret, jawaban yang diberikan tetap berputar pada dugaan dan informasi dari panitia Goes to Campus.
Ironisnya, keputusan ini berdampak lebih luas. Beberapa sekolah lain enggan menerima siswa yang dikeluarkan karena telah terlanjur mendengar isu bahwa mereka adalah “peminum.” Akibatnya, selain kehilangan hak untuk belajar, nama baik para siswa pun tercemar tanpa dasar yang jelas.
Tak hanya itu, muncul dugaan lain yang semakin memperburuk citra SMA 16 Jayanti. Salah satu siswa mengungkapkan bahwa Kepala Sekolah, Jajang Suhayat, pernah mengeluarkan pernyataan yang dianggap melecehkan.
“Dia bilang anak-anak Jayanti tidak punya adab,” ujar seorang siswa yang menirukan ucapan kepala sekolah, kejadian saat apel pagi.
Jika benar, pernyataan ini menambah daftar panjang dugaan kesewenang-wenangan di sekolah tersebut.
Merasa dirugikan, orang tua siswa menunjuk Kantor Hukum Irwan SP, S.H., M.H, & Partners untuk mendampingi mereka dalam upaya mencari keadilan. Pengacara yang ditunjuk telah melayangkan surat pengaduan kepada Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Banten, menuntut investigasi menyeluruh serta keadilan bagi para siswa.
Kasus ini menjadi preseden buruk dalam dunia pendidikan. Sekolah, sebagai institusi yang seharusnya mendidik dan melindungi siswa, justru bertindak otoriter tanpa prosedur yang jelas. Keputusan memberhentikan siswa tanpa bukti konkret dan tanpa memberikan ruang pembelaan hanya akan menciptakan ketidakadilan yang mencoreng wajah pendidikan itu sendiri.
Penulis: Eko
Editor: S.Eman/Daenk