Menguak Dugaan Pungli PTSL di Desa Pasir Nangka: Warga Diperas, Aparat Diam?

Kabupaten Tangerang | SUARAGEMPUR.COM – Dugaan praktik pungutan liar (pungli) dalam program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) di Desa Pasir Nangka, Kecamatan Tigaraksa, Kabupaten Tangerang, kembali mencuat. Oknum aparatur desa diduga mengangkangi program gratis pemerintah demi meraup keuntungan pribadi dengan cara memeras warga. Rabu (19/02/2025

Dalam wawancara dengan awak media pada Jumat, 14 Februari 2025, seorang warga berinisial SA dari Kampung Kadongdong RT 002/004 mengaku dimintai uang oleh Ketua RT berinisial HI untuk pendaftaran dan pengukuran tanah dalam program PTSL. SA dipatok biaya Rp 200.000 sebagai uang muka, dengan sisa pembayaran sebesar Rp 1.000.000 yang harus dilunasi saat sertifikat tanahnya terbit.

Berdasarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Nomor 25/SKB/V/2017 tentang Pembiayaan Persiapan Pendaftaran Tanah Sistematis, biaya yang dibebankan kepada masyarakat atau pemohon hanya Rp 150.000. Namun, fakta di lapangan berbicara lain.

Tak hanya itu, besaran pungutan bervariasi tergantung luas tanah, mengindikasikan adanya unsur kesengajaan dalam menentukan tarif secara sewenang-wenang terhadap warga. Ironisnya, praktik ini justru berlangsung di bawah hidung aparat yang seharusnya mengawasi.

Setahun kemudian, pada tahun 2021, sertifikat tanah SA akhirnya selesai. Namun, alih-alih menerima dokumen hak miliknya dengan mudah, SA justru dihadapkan pada skenario berbelit. Saat hendak mengambil sertifikat di kantor desa, SA dicegat oleh IA, adik kepala desa yang juga diduga mantan sekretaris desa. Bukannya langsung diberikan sertifikat, IA malah mengarahkan SA untuk melunasi pembayaran kepada Ketua RT HI.

Di hadapan Ketua RT HI, SA menyerahkan uang tunai Rp 1.000.000 kepada IA. Pernyataan SA ingin meminta kwitansi sebagai bukti pembayaran pun hanya sebatas harapan. “Sebenarnya dalam benak saya ingin meminta kwitansi, tapi sepertinya tidak akan dikasih,” keluh SA dalam wawancara.

Setelah pembayaran dilakukan tanpa bukti sah, sertifikat akhirnya diserahkan. Namun, lambat laun SA baru menyadari bahwa program PTSL sebenarnya diberikan secara gratis oleh pemerintah. Warga pun merasa menjadi korban permainan licik oknum aparat desa yang dengan sadar memanfaatkan ketidaktahuan mereka.

“Waktu itu saya tidak tahu bahwa pembuatan PTSL dari pemerintah sebenarnya gratis,” ucap SA.

Dengan Viralnya di beberapa media online pada tahun 2024, pemberitaan tersebut akhirnya mendorong pihak Polresta Tangerang untuk mengambil tindakan. SA dan beberapa warga lainnya dipanggil untuk dimintai keterangan sebagai saksi. Dalam pemeriksaan, penyidik meminta SA menandatangani surat pernyataan dan bertanya apakah ia ikhlas dengan uang yang telah diberikan. Dengan tegas, SA menjawab, “Tidak ikhlas.”

Namun, hingga saat ini, belum ada tindakan nyata dari pihak berwenang terhadap dugaan pungli ini. SA bukan satu-satunya korban. Menurut keterangannya, warga lain di Kampung Kadongdong RT 002/004 juga mengaku telah membayar Rp 500.000 untuk PTSL, tetapi sertifikat mereka hingga kini tak kunjung diterima.

“Selain saya, warga lain juga ada beberapa yang sudah membayar Rp 500.000. Namun, belum dapat sertifikat,” ujar SA.

Dalam kasus ini, SA dan warga lainnya akan menindaklanjuti memberikan kuasa kepada Mohammad Asnawi, SH, untuk mencari titik terang permasalahan PTSL agar hak-hak masyarakat dapat dipenuhi.

Ketika dikonfirmasi, Asnawi menegaskan bahwa kasus ini akan terus dikawal hingga para pelaku pungli mendapatkan sanksi setimpal. “Kami akan membawa kasus ini ke jalur hukum yang lebih tinggi jika tidak ada tindak lanjut dari pihak berwenang,” tegas Asnawi.

Kasus dugaan pungli ini semakin memperlihatkan lemahnya penegakan hukum terhadap praktik korupsi di tingkat desa yang nyata-nyata merugikan rakyat kecil. Meski pengaduan telah dilakukan, sudah beberapa tahun berlalu tanpa ada langkah konkret dari pihak berwenang untuk menindak tegas para pelaku.

Publik kini bertanya-tanya: sampai kapan kasus ini akan dibiarkan? Apakah hukum hanya tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas? Saat keadilan seakan dipermainkan, masyarakat menanti keberanian aparat untuk menindak tegas oknum pemerintah desa yang diduga telah menipu warganya sendiri.

(Tim/Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No Copy