SUARAGEMPUR.COM | TANGERANG — Upaya media Suaragempur dalam mengungkap dugaan ketimpangan hukum terus berlanjut. Setelah kasus dugaan penggelapan oleh Maryadi alias Jojon diseret ke meja hijau, kini sorotan mengarah pada dua titik serius, mengapa Lurah PN yang disebut dalam BAP menerima uang tidak tersentuh hukum, dan mengapa dakwaan Jaksa seolah mengabaikan fakta penting soal pengembalian uang oleh terdakwa.
Tim redaksi berhasil menemui Jaksa Penuntut Umum (JPU) Yossy di Kejaksaan Negeri Kabupaten Tangerang, Kamis (18/7/2025), guna menggali informasi lebih dalam. Saat dikonfirmasi mengenai alasan Lurah PN tidak diperiksa, padahal namanya secara tegas disebut dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) menerima uang sebesar Rp42 juta dari Maryadi, Jaksa Yossy menjawab.
“Informasi yang kami terima, uang tersebut sudah dikembalikan oleh Lurah PN kepada Maryadi.” jawab Yossy Jumat (18/7/25)
Namun ketika ditanya apakah terdapat bukti dokumentasi atau tanda terima resmi, Yossy mengaku tidak pernah melihat bukti tersebut secara langsung. “Saya tidak melihat bukti pengembaliannya, hanya menerima informasi saja,” ujarnya.
Lebih jauh, Yossy menyampaikan bahwa dalam proses persidangan, kuasa hukum terdakwa Maryadi sedang mengajukan permohonan agar perkara diselesaikan secara musyawarah kekeluargaan, karena menurut informasi, uang pelapor Aidil Amin telah dikembalikan.
Namun saat ditanya apakah Kejaksaan mengetahui bahwa pada 29 Maret 2025 terdakwa telah membuat surat pernyataan penitipan ganti rugi senilai Rp125 juta kepada pelapor Aidil Amin bin Hasan (alm), Yossy menjawab tidak mengetahui informasi tersebut. “Saya tidak tahu soal penitipan uang itu ke Polsek atau adanya surat pernyataan tersebut,” jawab Yossy singkat.
Tim redaksi SuaraGempur mendapatkan bukti bahwa pada 29 Maret 2025, telah dibuat Surat Pernyataan Penitipan Ganti Rugi senilai Rp125 juta dari Maryadi kepada pelapor Aidil Amin bin Hasan (alm). Namun fakta ini tidak disebutkan atau dipertimbangkan dalam dakwaan JPU, bahkan dalam dakwaan terdakwa dituduh tidak memiliki itikad baik selama berbulan-bulan.
Padahal, berkas perkara dengan Nomor: 898/Pid.B/2025/PN Tng baru didaftarkan pada 3 Juni 2025, atau lebih dari dua bulan setelah surat penitipan dibuat. Pertanyaannya, mengapa upaya penyelesaian dan pengembalian uang tersebut diabaikan dalam dakwaan?
Jika benar pengembalian sudah dilakukan pada Maret 2025 , maka narasi “tidak ada itikad baik” dalam dakwaan perlu ditinjau ulang. Dakwaan yang tidak proporsional berpotensi menyesatkan arah penegakan hukum dan mencederai prinsip keadilan.
Apabila merujuk pada Peraturan Jaksa Agung Republik indonesia Nomor : PER – 036/A/JA/09/2011 tentang Standar Operasional Prosedur ( SOP ) Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum, maka patut di duga dalam penanganan perkara ini terdapat penyimpangan SOP.
Pengembalian uang kerugian dari Lurah PN Kepada Maryadi tidak secara otomatis menggugurkan hukum pidana. Pengembalian kerugian, meskipun merupakan tindakan positif, hanya dianggap sebagai salah satu faktor yang dapat meringankan hukuman, tetapi tidak menghapuskan pidana itu sendiri.
Hal ini bertentangan dengan prinsip “equality before the law” sebagaimana dijamin oleh UUD 1945 serta ketentuan Pasal 55 dan 56 KUHP, yang menyatakan bahwa setiap pihak yang turut serta atau membantu tindak pidana dapat dimintai pertanggungjawaban hukum.
Apakah ini bentuk nyata dari tameng kekuasaan politik, mengingat Lurah PN kini menjabat sebagai anggota DPRD Provinsi Banten dari partai besar? Atas dasar berbagai kejanggalan ini.
Jika hukum terus dijalankan secara tebang pilih dan penuh kompromi, maka legitimasi institusi hukum akan runtuh di mata rakyat. Penegakan hukum yang adil merupakan harapan besar bagi rakyat.
Redaksi Suaragempur.com