Sugani Kebal Hukum? Dugaan Pemerkosaan Anak Tak Juga Ditahan, Kades Jadi Pendamping, Istri Bungkam Nurani

SUARAGEMPUR.COM | Kabupaten Tangerang – Enam bulan telah berlalu sejak kabar mengejutkan mengguncang Kampung Hauan, Kecamatan Balaraja, Kabupaten Tangerang. Seorang anak di bawah umur diduga menjadi korban pemerkosaan, dan nama Sugani, pria paruh baya yang kini berstatus tersangka, disebut-sebut sebagai pelakunya. Namun ironisnya, hingga hari ini, pintu tahanan belum terbuka untuknya. Selasa (17/06/2025)

Alih-alih menjalani penahanan sebagaimana mestinya dalam kasus kejahatan seksual terhadap anak, Sugani tampak bebas melenggang. Terakhir, ia terlihat hadir di kantor Polresta Tangerang pada Senin, 16 Mei lalu. Bukan untuk diperiksa secara intensif, apalagi ditahan, melainkan hanya untuk “melengkapi data”. Sebuah istilah administratif yang justru mencerminkan lemahnya daya gigit hukum dalam menghadapi dugaan kejahatan luar biasa ini.

Yang lebih mengundang tanda tanya, Sugani tak datang sendiri. Ia didampingi oleh Kepala Desa Tobat, Endang Suherman. Keberadaan seorang pejabat desa dalam proses hukum pidana, terlebih terhadap dugaan pemerkosaan anak, menimbulkan kecemasan etis sekaligus pertanyaan mendasar: apa sesungguhnya posisi moral pejabat publik dalam kasus ini?

Apakah ini bentuk pembelaan diam-diam terhadap pelaku? Atau sekadar manifestasi nyata dari relasi kuasa yang tak lagi mengenal batas kepantasan? Ketika seorang kepala desa terlihat berpihak pada tersangka, maka publik berhak bertanya: siapa yang berdiri untuk korban?

Kekacauan narasi semakin dalam ketika pernyataan mengejutkan datang dari seorang perempuan yang mengaku sebagai istri Sugani. Di ruang tunggu Polresta, ia melontarkan kalimat yang tak hanya memancing amarah publik, tetapi juga melukai nilai-nilai dasar hukum:

“Padahal mah ini suka sama suka. Udah senyap, cuma ada yang dorong lagi… katanya Rustam, pengacara dari Perum Vila Balaraja.”

Sebuah pernyataan yang tak hanya menyederhanakan penderitaan korban, tapi juga menyamarkan fakta hukum. Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak, disebut tegas bahwa anak di bawah umur tidak dapat memberikan persetujuan terhadap hubungan seksual, dalam keadaan apapun. Maka narasi “suka sama suka” bukan hanya menyesatkan, tetapi merupakan bentuk kekerasan simbolik yang melecehkan martabat korban.

Yang tak kalah serius, pernyataan tersebut menyeret nama Rustam, pengacara yang dikenal vokal dalam isu perlindungan anak. Dituding sebagai pihak yang “mendorong” kasus ini mencuat, Rustam memberikan bantahan keras:

“Saya tidak pernah terlibat dalam pelaporan kasus ini. Tapi jika nama saya dijadikan alat pengalihan isu, maka saya akan menempuh jalur hukum. Ini bentuk pencemaran nama baik yang keji.”

Pertanyaan publik kini kian mengerucut: mengapa Sugani belum juga ditahan? Apakah karena ia memiliki posisi sosial, uang pesangon dari perusahaan lamanya, PT EDS Manufacturing Indonesia (PEMI), atau justru karena adanya jaringan politik di tingkat lokal yang membentengi proses hukum?

Sugani diketahui menerima pensiun dini tepat saat kasus ini mulai mengemuka. Sebuah momentum yang terlalu sinkron untuk disebut kebetulan. Di tengah ketidakjelasan proses hukum, publik menyaksikan satu demi satu tanda kejanggalan bermunculan.

Zarkasih, Ketua YLPK PERARI DPD Banten, menyampaikan sikap tegas:

“Kami mendesak Polresta Tangerang untuk segera menahan Sugani. Kepala Desa Endang Suherman harus diperiksa dan diberi sanksi jika terbukti menyalahgunakan jabatan dengan mendampingi tersangka. Dan pencemaran nama baik terhadap pengacara Rustam harus diproses secara hukum. Ini bukan lagi soal individu. Ini soal wibawa hukum di hadapan rakyat.”

Ketika seorang tersangka pemerkosaan anak dapat keluar masuk kantor polisi, didampingi oleh pejabat desa, dan dilindungi oleh narasi pembenaran yang menyalahi hukum, maka yang sedang diuji bukan hanya keberanian aparat, tetapi integritas sistem peradilan itu sendiri.

Kepada Polresta Tangerang, masyarakat menagih lebih dari sekadar klarifikasi. Ini saatnya menjawab dengan tindakan. Jangan biarkan keadilan kandas dalam kelambanan birokrasi. Jangan tunggu korban berikutnya untuk membangunkan nurani. Jangan tunggu kemarahan rakyat menjelma menjadi gelombang yang lebih besar.

Dan kepada publik, masyarakat sipil, media, akademisi, dan aktivis: jangan biarkan kasus ini tenggelam dalam kesunyian. Sebab diam kita hari ini bisa menjadi alasan bagi pelaku berikutnya untuk merasa aman. Dan bagi korban berikutnya untuk merasa tak punya harapan.

Ini bukan sekadar berita kriminal. Ini cermin kelam yang memperlihatkan bahwa keadilan kita tengah dikebiri, perlahan, tapi nyata. (Red).

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No Copy