Kasus Ratu Entok: Dugaan Penistaan Agama dan Rusaknya Citra Islam

Kasus Ratu Entok: Dugaan Penistaan Agama dan Rusaknya Citra Islam

Tangerang || Suaragempur.com – Dunia maya kembali dibuat gaduh dengan aksi viral Irfan Satria Putra, seorang transgender yang dikenal dengan nama “Ratu Entok”. Dalam video TikTok-nya, ia dengan nada bercanda menyuruh gambar Yesus di ponselnya “mencukur rambut agar tidak terlihat seperti perempuan.” Dugaan penghinaan ini menyulut amarah umat Kristen yang merasa simbol keimanan mereka dilecehkan. Namun, kontroversi tidak berhenti di situ. Pengakuannya sebagai seorang Muslim memancing pertanyaan besar: Apakah tindakan seperti ini pantas membawa nama Islam?

Kasus ini melibatkan Ratu Entok sebagai pusat perhatian, Lembaga Bantuan Hukum Horas Bangso Batak sebagai pihak pelapor, dan umat beragama sebagai kelompok yang tersakiti. Dugaan penghinaan terhadap agama Kristen jelas mengundang reaksi keras, tetapi lebih jauh lagi, perbuatannya juga dianggap mencoreng citra Islam. Muslim sejati tentu tidak akan bertindak seperti ini, apalagi sampai merendahkan agama lain.

Kehebohan ini berpusat di Sumatera Utara, tempat Lembaga Bantuan Hukum Horas Bangso Batak melaporkan kasus ini ke Polda setempat. Namun, dampaknya meluas ke seluruh Indonesia, mengingat bagaimana media sosial menjadi wadah penyebaran kontroversi ini. TikTok, yang awalnya menjadi medium hiburan, kini menjadi arena konflik antar-keyakinan.

Peristiwa ini meletup dalam beberapa hari terakhir setelah unggahan video TikTok Ratu Entok menjadi viral. Polisi bergerak cepat dengan menahan pelaku untuk penyelidikan lebih lanjut. Namun, kerusakan moral dan sosial yang ditimbulkan tak bisa selesai dalam waktu singkat.

Pertanyaan besar yang mengemuka adalah, apa motif sebenarnya dari aksi Ratu Entok? Apakah ini murni ketidaktahuan, seperti yang diklaimnya saat klarifikasi, atau ada maksud tersembunyi untuk memprovokasi? Dugaan penghinaan terhadap agama Kristen dan perilakunya yang menyimpang justru merusak nama baik Islam yang ia klaim sebagai agamanya. Islam, agama yang menekankan akhlak mulia, jelas tak sejalan dengan tindakan seperti ini.

Langkah hukum telah diambil. Berdasarkan laporan LBH Horas Bangso Batak, Ratu Entok kini menghadapi Pasal 28(2) UU ITE dan Pasal 156 KUHP terkait ujaran kebencian berbasis SARA. Polisi telah menahan pelaku untuk penyelidikan lebih lanjut. Namun, pertanyaan tetap ada: apakah tindakan hukum saja cukup untuk menyembuhkan luka sosial yang telah terjadi?

Fenomena ini menggambarkan wajah buruk dari penggunaan media sosial di Indonesia. Dugaan penghinaan agama yang dilakukan Ratu Entok adalah bukti nyata dari lemahnya pemahaman masyarakat tentang toleransi dan keberagaman. Apakah kita sebagai bangsa sudah terlalu permisif terhadap aksi-aksi viral yang tidak mendidik?

Pengakuannya sebagai seorang Muslim menambah lapisan kontroversi. Islam tidak mengajarkan umatnya untuk menghina keyakinan lain. Tindakan seperti ini bukan hanya merusak nama baik agama Islam tetapi juga menambah beban bagi komunitas Muslim yang selama ini berusaha menampilkan wajah Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin.

Kemarahan umat Kristen bisa dimengerti, tetapi kasus ini seharusnya juga menjadi bahan introspeksi bagi kita semua. Apakah kita sudah cukup mendidik masyarakat untuk bijak dalam menggunakan media sosial? Atau apakah kita malah membiarkan kebodohan dan intoleransi tumbuh subur di tengah kita?

Kasus Ratu Entok bukan sekadar drama viral, melainkan peringatan keras bagi kita semua. Hukum harus ditegakkan, tetapi yang lebih penting adalah pendidikan moral dan toleransi harus menjadi prioritas. Jangan sampai kasus seperti ini menjadi preseden buruk yang terus terulang.

Media suaragempur.com menyerukan agar masyarakat lebih bijak dan pihak berwenang lebih tegas dalam menangani kasus-kasus yang berpotensi merusak keharmonisan bangsa.

Penulis : Abdu Rohim

Post Comment

Dilarang Copy Paste