Kabupaten Bekasi | suaragempur.com – Putusan yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Cikarang terhadap kasus perzinaan menimbulkan polemik. Dalam sidang terakhir pada Rabu, 18 Desember 2024 lalu, kedua terdakwa, SR dan IM, divonis 10 bulan percobaan tanpa penahanan. Keputusan ini menuai kritik tajam dari pelapor, IN, dan sejumlah pihak yang mempertanyakan integritas hakim.
Kasus ini bermula dari laporan IN yang menyebutkan bahwa SR dan IM terbukti melakukan perzinaan pada beberapa kesempatan, termasuk pada tanggal 4 dan 5 September 2023 di Desa Rakitan, Kecamatan Madukara, Kabupaten Banjarnegara. Bahkan, perzinaan tersebut kembali terjadi di lokasi yang sama pada Januari dan Juli 2024 lalu, meski status tersangka sudah ditetapkan.
Dalam KUHP, pelaku perzinaan diancam dengan pidana penjara maksimal sembilan bulan. Jaksa Penuntut Umum (JPU), Pratiwi, mengajukan tuntutan penahanan selama 04 bulan bagi kedua terdakwa. Namun, Majelis Hakim justru memutuskan vonis percobaan 10 bulan tanpa penahanan.
Pelapor, IN, yang didampingi kuasa hukum, mengungkapkan kekecewaannya terhadap keputusan ini. Dugaan adanya suap yang melibatkan pihak Majelis Hakim dan JPU mencuat, mengingat putusan vonis dianggap tidak mencerminkan keadilan dan melanggar asas hukum yang berlaku.
“Dengan fakta perbuatan berulang yang dilakukan terdakwa, seharusnya Majelis Hakim menjatuhkan hukuman yang sesuai demi memberikan efek jera. Namun, vonis yang dijatuhkan justru terkesan melindungi pelaku,” ujar IN.
Kasus ini juga berdampak pada dua anak kandung SR, masing-masing berusia 13 dan 5 tahun, yang kini diasuh oleh pelapor. Sejak tahun 2022, SR disebut telah menelantarkan anak-anaknya demi menjalani hubungan terlarang.
“Anak-anak ini adalah korban dari kelalaian ibunya. Mereka tidak hanya kehilangan perhatian, tetapi juga harus menanggung beban sosial dari perbuatan ibunya,” tambah pelapor.
SR diketahui telah melakukan perselingkuhan sejak tahun 2008 dengan beberapa pria di berbagai lokasi, termasuk Tangerang, Kuningan, dan Bekasi. Perbuatan tersebut tidak hanya menimbulkan kerugian moral bagi keluarga, tetapi juga mencoreng nilai-nilai kesusilaan di masyarakat.
Pelapor meminta Kejaksaan Tinggi Jawa Barat dan Mahkamah Agung untuk mengkaji ulang putusan ini. Ia juga mendesak pihak berwenang untuk menyelidiki dugaan suap yang melibatkan hakim dan jaksa dalam kasus ini.
“Keadilan harus ditegakkan. Jika hukum bisa dibeli, maka kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan akan runtuh,” tegasnya.
Kasus ini menjadi ujian serius bagi integritas institusi hukum di Indonesia. Penanganan yang transparan dan tegas sangat diperlukan agar keadilan tetap menjadi pilar utama dalam kehidupan bermasyarakat.
Reporter : Tim suaragempur.com
Narasumber : Irwan (Pelapor)